REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Risiko bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) jika tak menjadikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 60/2024 dan 70/2024 sebagai pedoman dalam pendaftaran calon kepala daerah (cakada) untuk Pilkada 2024 dinilai cukup besar.
Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Yance Arizona mengatakan, penyelenggara pemilu itu bakal kerepotan menjadi objek sengketa kepemiluan oleh banyak pihak jika mengabaikan putusan hakim konstitusi tentang ambang batas baru dan syarat usia cakada saat pencalonan.
Bahkan, kata Yance, keengganan KPU dalam mengadopsi putusan MK di dalam PKPU-nya, bisa menggagalkan pilkada itu sendiri. “Kalau KPU tidak melakukan perubahan PKPU (8/2024), dan misalkan nanti minggu depan sudah mulai pembukaan pendaftaran calon kepala daerah, yang diusung oleh partai politik, atau gabungan partai politik mengacu pada putusan MK 60 itu, lalu ditolak oleh KPU. Dan ada calon kepala daerah yang mendaftar tetapi tidak sesuai dengan putusan MK 70 itu, lalu diterima oleh KPU, maka itu akan merepotkan sendiri bagi KPU. Itu potensial bisa menjadikan KPU sebagai objek sengekata lagi di MK” begitu kata Yance saat dihubungi, dari Jakarta, Jumat (23/8/2024).
“Bahkan pilkadanya bisa diulang,” kata Yance.
Sebab itu, kata Yance, terlalu berisiko bagi KPU sebaga penyelenggara pemilu, untuk memilih jalan lain, yaitu diluar putusan MK 60/2024, dan 70/2024. Karena dikatakan Yance, putusan MK, sudah berlaku sejak dibacakan oleh hakim, pada Selasa (20/8/2024).
Putusan tersebut semestinya bahkan sudah dieksekusi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan melakukan pengubahan UU Pilkada 2016 terkait dengan Pasal 40 dan Pasal 7 sesuai dengan bunyi putusan MK 60 dan 70.
Akan tetapi, DPR tak melakukan perevisian, dan menerima putusan MK tersebut menjadi acuan, dan dasar hukum dalam pelaksanaan Pilkada 2024. Karena itu, seelanjutnya KPU memang seharusnya merespons penerimaan DPR itu, dengan mengubah PKPU 8/2024 yang mengatur teknis administratif persyaratan para cakada yang masih belum mengadopsi putusan MK.
Akan tetapi, tanpa PKPU, pun kata Yance, sebetulnya tak masalah. Karena kata Yance, putusan MK yang setara dengan undang-undang tersebut, punya hirarki hukum yang lebih tinggi ketimbang PKPU. “Putusan MK bisa dilaksanakan tanpa PKPU. Karena PKPU itu, hanya sarana administratif untuk memudahkan pekerjaan KPU,” kata Yance.
Mantan Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD, Selasa (20/8/2024) lalu, pun mengatakan yang sama. Menurut Mahfud, putusan MK merupakan negative legislatur yang ketika dibacakan oleh hakim konstitusi akan setara dengan undang-undang.
Kedudukan putusan MK yang setara dengan UU, membuatnya berada di atas PKPU. “Putusan MK 60, dan putusan MK 70 tentang syarat usia itu, tentu saja berlaku sejak diucapkan dan diputuskan MK yang kedudukannya lebih tinggi dari peraturan KPU (PKPU). (Putusan MK) lebih tinggi sekalipun dari Peraturan Pemerintah (PP). Karena putusan MK setara undang-undang, negative legislature. Kalau ada peraturan di bawahnya, maka putusan MK yang berlaku,” begitu kata Mahfud, Selasa (20/8/2024).
Patuhi putusan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan akan mematuhi Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Dua putusan MK itu akan disesuaikan di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 tentang pencalonan yang akan direvisi.
Ketua KPU Mochammad Afifudin mengatakan, pihaknya telah melakukan langkah untuk menindaklanjuti dua putusan MK itu dengan akan melakukan revisi PKPU tentang pencalonan. Ia menambahkan, pihaknya akan mengupayakan agar perubahan PKPU tersebut terbit sebelum pendaftaran pasangan calon.