Kamis 10 Aug 2023 16:30 WIB

Pimpinan MPR: Penundaan Pemilu pada Masa Darurat tak Bisa Diatur UU

MPR mengeklaim tetap komitmen melaksanakan pemilu pada 14 Februari 2024.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid.
Foto: istimewa
Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nur Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menjelaskan, penundaan pemilihan umum (pemilu) saat masa darurat masih berupa usulan materi yang bergulir di pimpinan MPR. Ia mengaku, bukan merupakan usulan resmi MPR untuk melakukan amendemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Dalam rapat pimpinan MPR pada Selasa (8/8/2023), terdapat usulan soal penundaan pemilu di masa darurat yang berkaca pada pandemi Covid-19 yang sangat berdampak pada seluruh sektor di Indonesia. Namun, penundaan pemilu dapat dilakukan jika UUD 1945 diubah lewat amendemen.

Baca Juga

"(Menunda pemilu pada masa darurat) kalau hanya dengan undang-undang kan tidak bisa, karena ketentuan pemilu lima tahun sekali adanya di UUD, tidak bisa dikalahkan UU. Kalau melalui perppu, juga tidak bisa menganulir ketentuan konstitusi, apalagi legitimasi politiknya juga sangat rendah," ujar Hidayat saat dihubungi, Kamis (10/8/2023).

Pelaksanaan pemilu diatur dalam Pasal 22E Ayat 1 UUD 1945. Dijelaskan, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Selanjutnya dalam Pasal 22E Ayat 2, dijelaskan bahwa pemilu dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Termasuk memilih presiden dan wakil presiden yang harus dilakukan setiap lima tahun sekali.

"Satu hal yang kaitannya dengan ajakan untuk memikirkan dan melakukan kajian antisipatif terhadap kondisi darurat bila kembali terjadi. Kemarin kita dilanda pandemi Covid-19 dan alhamdulillah Covid selesai sebelum pemilu," kata Hidayat.

"Tapi, kalau hal kedaruratan sejenis itu terjadi sampai jelang pemilu, bagaimana mengatasinya secara konstitusional, sementara aturan konstitusionalnya belum ada," kata dia menambahkan.

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa usulan materi tersebut tak berkaitan dengan penundaan Pemilu 2024. Seluruh pimpinan MPR dalam rapat Selasa (8/8/2023), seluruh fraksi sudah berkomitmen terhadap pelaksanaan kontestasi pada 14 Februari mendatang.

"Tidak diundurkan, tetap akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Pimpinan MPR juga sepakat amendemen UUD tidak dilaksanakan sebelum Pemilu 2024," ujar wakil ketua Majelis Syura PKS itu.

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan, usulan penundaan pemilu saat masa darurat berkaca pada pandemi Covid-19 yang berdampak besar terhadap seluruh sektor di Indonesia. Apalagi, konstitusi saat ini belum mengatur penundaan pemilu pada masa-masa seperti itu.

"Kalau kita mengacu pada UUD yang sekarang, katakanlah akibat kedaruratan itu pemilu enggak mungkin dilaksanakan. Nah, kalau kita mengacu pada UUD yang sekarang ini kan enggak ada aturannya," ujar Arsul saat ditemui di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta.

Jika hal tersebut tak diatur, akan muncul potensi pembangkangan masyarakat di tengah masa-masa darurat seperti itu. Sebab, tidak mungkin memaksakan pelaksanaan pemilu di tengah kegentingan seperti pandemi dan gempa besar.

Adapun usulan amendemen tersebut akan disampaikan pada Hari Konstitusi pada 18 Agustus 2023. Harapannya lewat kajian dan pembahasan dengan banyak kalangan itu, MPR akan mendapatkan kewenangan tersebut lewat amendemen terbatas.

"Kami berharap MPR itu punya kewenangan, artinya tempat memutuskan mencari jalan keluarnya itu harus ada di MPR. Termasuk misalnya kewenangan untuk 'Oke kita tunda', menyatakan itu ditunda, tetapi itu beberapa bulan dan segala macam," kata Arsul.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement