Ahad 24 Aug 2025 10:29 WIB

Lidah Orang Jerman: Makanan Indonesia Maknyus Tapi tidak Buat Tiap Hari

Bebek bumbu bali, klepon dan "kawan-kawannya" melenggang masuk restoran bintang tiga Michelin dan bikin tamu Jerman berkeringat. Semua bilang maknyus tapi ketika ditanya mau makan tiap hari? Jawabannya bikin deg-gegan.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Ayu Purwaningsih/DW
Ayu Purwaningsih/DW

"Bebek bumbu Bali, yuhuuuu!" dengan riang sambil coba mengintip buku menu, Stefanie Lüdwig menyebut nama masakan Indonesia yang jadi favoritnya dalam menu gala dinner empat malam berturut-turut yang digelar di Restoran Schwarzwaldstube, di awal Agustus ini.

Dari puluhan tamu restoran yang hadir hanya segelintir yang mempu mengucapkan nama asil dari makanan yang diolah tim koki Indonesia di bawah pimpinan Chef Degan Septoadji itu. Beberapa tamu restoran lain ada juga yang menyebut rendanglah makanan favoritnya. Namun lainnya mengalami kesulitan untuk mengingat-ingat nama makanan yang disantap.

Hidangan-hidangan itu hanya sebagian dari menu yang disajikan dalam gala dinner empat malam berturut-turut di restoran bintang tiga Michelin tersebut. Chef Degan dan rekan-rekannya untuk pertama kalinya mendapatkan kesempatan masak dan menyajikan masakan mereka di restoran standar kelas kakap ini selama empat malam, dengan setiap malamnya jumlah tamu dibatasi sekitar 30 orang.

Menunya dibuka dengan makanan-makanan mungil yang ditata cantik: Bola-kola kroket, lumpia dan sate sapi. Diikuti asinan bogor dengan kerang dan tuna dabu-dabu yang tak kalah imut bentuknya dan soto ayam lamongan. Berbagai macam nasi termasuk nasi kuning dipilih jadi makanan utama yang dirames dengan rendang, ikan dan sayur lodeh.

Masakan Indonesia biasanya kurang lengkap tanpa kerupuk dan sambal. Oleh sebab itu tim koki juga menggoreng aneka kerupuk plus cocolannya, sambal rias asal Sumatra yang kental aroma kecombrang dan andalimannya. Turut pula disajikan sambal terasi yang dikurangi jumlah cabainya agar tak bikin pencicip pemula keluar air mata karena kepedasan.

"Yah, saya masih berkeringat dan rasa favorit saya adalah ada rasa asam jawa dalam salah satu menu tadi yang pakai kerang,” tambah Stefanie usai menyantap makan malam sambil mengusap peluh, meski temperatur ruangan begitu sejuk. "Enak loh cukanya,” imbuhnya. Menu yang dimaksud adalah asinan bogor yang dipadu kerang Jacob. Di mejanya masih mengantre rujak buah bumbu kacang dan gula jawa untuk ”disikat”. Klepon dan bubur ketan hitam bersantan diimbuhi ”seemprit” nangka menjadi penutup santap malam yang dibanderol 129 Euro atau sekitar 2,2 juta Rupiah per orang itu.

Butuh dua dekade bagi sang chef buat bisa hadirkan masakan Indonesia di restoran sekelas ini. Lewat kerja keras, berjejaring dan ajang promosi bertahun-tahun. Kali ini, ketika kesempatan emas terbuka, Chef Degan memilih menu dengan seksama

"Butuh 20 tahun lebih saya bisa mendapatkan kepercayaan untuk masak masakan Indonesia di Michelin 3 ini. Banyak kerja kerasnya, banyak dedikasinya. Banyak pengorbanannya untuk melakukannya. Kita ingin menunya, karena ini masakan Indonesia, sementara Indonesia adalah negara dengan banyak pulau dan budaya, banyak masakan. Jadi saya memilih makanan dari beberapa pulau di Indonesia, seperti Sumatra, Sulawesi, Jawa, Bali, supaya tamunya bisa mengerti dan mencicipi masing-masing makanan dari masing-masing pulau, ” ujar Degan.

Enak, tapi bukan buat dimakan setiap hari

Semua tamu menyebut makanan Indonesia sangat nikmat. Jika memang lezat, maukah mereka makan makanan Indonesia tiap hari? "Tidak, tidak untuk setiap hari, saya masih suka tepung-tepuangan. Saya suka makan pancake, sebab kami berasal dari kawasan Pfalz, kami suka makan pangsit kukus, jika satu minggu sekali makan masakan Indonesia mungkin masih bisalah,” ujar Evelyn salah satu tamu yang mengobrol dengan DW sambil melirik-lirik piring ketan hitam di hadapannya.

Tamu lainnya seorang koki terkemuka Jerman, Holger Czäczine setuju dengannya, "Saya berasal dari daerah Leipzig dan ya, tapi untuk makan makan masakan Indonesia setiap hari, mungkin tidak. Mungkin bisa seminggu sekali, ya, itu masih oke,” tandasnya dengan mimik serius.

Sementara tamu lain yang semeja dengannya Andreas Fisher berujar, "Meskipun ”maknyus”, tidak harus ada di atas meja setiap hari. Biarkan jadi sajian istimewa sekali-sekali.”

Stefanie Lüdwig menanggapi, "Aku bisa makan masakan indonesia setiap hari, tapi khusus jika sedang liburan di Indonesia saja, katakanlah 3 hari dari 7 hari seminggu saya bisa makan makanan Indonesia,” tuturnya.

Menanti dukungan promosi

Jika dipikir-pikir mengapa masakan Indonesia kalah ngetop dibanding kimchi, ramyun, sushi atau tomyam? Degan prihatin: ” Kita kurang cukup mempromosikan masakan Indonesia seperti yang saya lakukan ini. Tak mesti di Michelin star, bisa di format ‘buffet', macam-macam.”

Act Konjen RI di Frankfurt mengamini: ”Ada faktor finansial, dan lain-lain. Semua harus mau bekerja sama. Itu membutuhkan kerja keras, supaya kita bisa melakukan itu terus-menerus. Itu yang dilakukan negara-negara lain secara konsisten. Mudah-mudahan kita ke depan juga bisa seperti itu nanti,” pungkas pria yang doyan gado-gado ini.

Editor: Rizki Nugraha

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement