Ahad 23 Nov 2025 17:42 WIB

COP30: Kearifan Lokal Ghana Jadi Senjata Melawan Krisis Iklim

Saat konferensi iklim internasional dimulai di Brasil, komunitas pedesaan di Ghana memimpin gerakan akar rumput untuk iklim, memanfaatkan pengetahuan tradisional guna mengurangi emisi karbon dan melindungi hutan.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Isaac Kaledzi/DW
Isaac Kaledzi/DW

Di komunitas Yiwagu, bagian utara Ghana, pertanian sejak lama menjadi tulang punggung mata pencaharian masyarakat setempat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir hasil panen, terutama kacang shea, terus menurun. Warga setempat menyalahkan penurunan hasil panen itu pada curah hujan yang tidak menentu dan suhu yang meningkat, gejala nyata dari perubahan iklim.

Sebagai respons, komunitas etnis minoritas tersebut beralih pada praktik konservasi tradisional. Para pemimpin lokal telah melarang penebangan pohon dan aktivitas merusak lainnya di hutan sekitar.

"Hutan keramat ini berfungsi sebagai penahan angin bagi komunitas kami. Hutan ini membantu memicu turunnya hujan dan juga menjadi sumber obat-obatan tradisional kami,” ujar Yakubu Iddrisu, anggota dewan daerah Yiwagu.

Menurutnya, manfaatnya sudah mulai terlihat. Kondisi cuaca mulai membaik, dan hutan kembali menjadi sumber penyembuhan."Jadi ketika kami membutuhkan obat, tanaman herbal yang kami perlukan ada di sini,” ujar Iddrisu kepada DW.

Melindungi hutan

Di Bachabodo, sebuah desa lain di utara Ghana, warga, terutama perempuan, dulunya menggantungkan hidup pada produksi arang, yang menyebabkan penebangan pohon secara masif. Namun, kini keadaan mulai berubah.

Dengan dukungan dari Global Landscapes Forum, program REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) PBB, dan African Forest Forum, para perempuan kini beralih ke usaha perlebahan (budidaya madu) sebagai alternatif yang berkelanjutan.

"Dulu kami menebang pohon untuk kayu bakar, lalu menebangnya lagi untuk membuat arang. Sekarang, lewat madu, kami mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan hidup,” papar Grace Mawaldujin, seorang peternak lebah di Bachabodo, yang menambahkan bahwa perubahan ini telah mengubah kehidupan mereka.

"Sekarang kami senang dengan produksi madu karena kami mendapat penghasilan darinya. Kami tidak lagi menebang pohon untuk membuat arang. Kini hutan dan usaha perlebahan kami membuat komunitas kami bahagia.”

Pertanian cerdas iklim

Lebih ke selatan, para petani mulai menerapkan praktik pertanian cerdas iklim yang mengurangi tekanan terhadap hutan dan mendorong penanaman pohon. Di daerah penghasil kakao seperti Atiwa, timur Ghana, pohon-pohon ditanam untuk memberikan naungan bagi tanaman kakao — meningkatkan hasil panen sekaligus kesejahteraan petani.

"Dulu kami hanya memanen beberapa karung kakao, tapi setelah menerapkan pertanian cerdas iklim, hasilnya meningkat dan sangat membantu para petani. Saya bisa bilang, ini telah membantu mengurangi kemiskinan di wilayah kami,” ujar Collins Akonnor, seorang petani kakao setempat.

Upaya-upaya ini didukung oleh inisiatif REDD+ PBB, yang bertujuan mengurangi emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan. Program ini membantu masyarakat membatasi praktik pertanian berlebihan dan melindungi ekosistem hutan.

"Tujuannya adalah menghentikan perluasan kebun kakao ke area hutan dan menanam pohon di dalam kebun kakao untuk meningkatkan hasil,” kata Ivy Ashiley dari sekretariat nasional REDD+ Ghana.

"Hal ini secara signifikan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan.Dampaknya luar biasa — sebagian besar petani kini bertani di lahan mereka sendiri dan bahkan menanam lebih banyak pohon, yang juga meningkatkan hasil panen.”

Dorongan Afrika untuk keadilan iklim

Meski Afrika merupakan salah satu kontributor terendah terhadap emisi gas rumah kaca, benua ini tetap menjadi salah satu wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Para ahli mengatakan, inisiatif yang dipimpin masyarakat seperti di Ghana dapat menjadi model bagi seluruh benua.

"Saya sangat terkesan dengan apa yang saya saksikan di komunitas-komunitas itu,” kata Amos Amanubo, Koordinator Regional Afrika untuk Global Landscapes Forum, organisasi yang mendorong pendekatan berbasis lanskap.

"Dari perspektif global, sering kali sulit memahami keterkaitan antara tiga konvensi Rio — yaitu konvensi tentang iklim, keanekaragaman hayati, dan netralitas degradasi lahan.”

Pada KTT Iklim COP30 di Brasil(10–21 November), para negosiator Afrika diperkirakan akan memperjuangkan agenda iklim yang berlandaskan keadilan, kesetaraan, dan ketahanan.

Menurut Komisi Ekonomi PBB untuk Afrika (UNECA), benua ini akan menuntut peningkatan pembiayaan iklim, pengoperasian mekanisme Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Fund), transisi energi yang adil, serta akses yang setara ke pasar karbon.

Afrika juga akan menampilkan potensi energi terbarukan yang besar, kemampuan penyerapan karbon, dan inovasi yang digerakkan kaum muda, sambil menuntut reformasi yang bermakna dalam tata kelola dan pendanaan iklim global.

Namun di luar panggung global, para ahli menegaskan bahwa pejuang iklim sejati ada di komunitas seperti Yiwagu, Bachabodo, dan Atiwa — di mana pengetahuan lokal dan tindakan masyarakat membuat perjuangan melawan perubahan iklim menjadi lebih nyata, inklusif, dan efektif.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

Editor: Yuniman Farid

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement