Ahad 23 Nov 2025 06:14 WIB

Mutirão: Upaya Kolektif Masyarakat Adat Brasil untuk Melindungi Hutan dan Iklim

Masyarakat adat di seluruh dunia berperan penting dalam melindungi hutan, tetapi sering kali tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan iklim. Mereka berharap para pemimpin dunia merespons kekhawatiran mereka di COP30.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Fernando Llano/AP Photo/dpa/picture alliance
Fernando Llano/AP Photo/dpa/picture alliance

Ketika para penyelenggara konferensi iklim internasional tahun ini menjadikan “mutirão”, istilah Portugis yang berasal dari bahasa masyarakat adat dan berarti "upaya kolektif" sebagai slogan resmi acara, mereka menegaskan kembali pesan yang sudah tersirat dari pemilihan lokasi COP30.

Kota Belem di wilayah Amazon dipilih untuk menyoroti peran 1,7 juta masyarakat adat di kawasan tersebut sebagai penjaga hutan hujan terbesar di dunia.

Langkah seperti ini menunjukkan perubahan dibanding pembicaraan iklim sebelumnya yang kerap mengabaikan suara komunitas adat, padahal mereka menjaga sebagian besar keanekaragaman hayati dunia. Namun, dampak dari sejauh mana perubahan ini dapat berujung pada tindakan nyata masih belum jelas.

Apa saja permintaan masyarakat adat?

Lebih dari 5.000 kelompok masyarakat adat yang tinggal di 90 negara hanya mewakili 6% populasi dunia, tetapi memiliki peran penting dalam menjaga alam dan iklim.

Sebagai penjaga tanah mereka, tuntutan utama adalah hak untuk menentukan pengelolaan wilayah adat. Banyak wilayah mereka terancam oleh pengeboran minyak dan gas, penambangan, serta penebangan hutan.

"Kami ingin mencapai kesepakatan agar wilayah adat tidak lagi dikorbankan,” kata Lucia Ixchiu, perempuan adat K'iche dari Guatemala, yang mengarungi Sungai Amazon selama berminggu-minggu untuk menyampaikan pesan itu kepada para pemimpin dunia.

Hak atas tanah masih menjadi masalah besar. Antara 2015–2020, sekitar 100 juta hektare telah diakui secara hukum untuk masyarakat adat, keturunan Afrika, dan komunitas lokal lainnya. Namun, klaim atas 1,4 miliar hektare lainnya belum terselesaikan.

"Kami berharap COP30 memperkuat komitmen internasional untuk menandai batas dan melindungi wilayah adat, serta mengakuinya sebagai area penting untuk konservasi dan keseimbangan iklim,” ujar Alcebias Sapara, tokoh Koordinasi Organisasi Adat di Amazon Brasil.

Sapara juga menekankan perlunya mekanisme pendanaan langsung untuk inisiatif yang dipimpin masyarakat adat agar mereka dapat mengelola wilayahnya secara mandiri dan berkelanjutan, serta mengintegrasikan pengetahuan tradisional ke dalam kebijakan iklim.

Christine Halvorson, Direktur Program di Rainforest Foundation Amerika Serikat, menambahkan bahwa masyarakat adat ingin memastikan bahwa proyek energi hijau yang berdampak pada tanah dan mata pencaharian mereka hanya dilakukan setelah ada konsultasi dan persetujuan.

Selain itu, mereka meminta perlindungan lebih besar, karena banyak yang menghadapi ancaman dan kekerasan saat membela tanah mereka. Pada 2024, sekitar sepertiga aktivis lingkungan yang hilang atau terbunuh di dunia adalah masyarakat adat.

Bisakah mereka menyelamatkan iklim?

"Tanpa masyarakat adat... tidak ada masa depan bagi umat manusia,” ujar Sonia Guajajara, Menteri Masyarakat Adat Brasil, kepada AFP. Ia menekankan bagaimana masyarakat adat berperan penting menjaga air bersih dan melindungi keanekaragaman hayati di wilayah mereka.

Masyarakat adat dianggap sebagai penjaga hutan terbaik di dunia. Mereka mengelola sekitar seperempat daratan dunia dan hingga separuh hutan utuh yang tersisa.

Hutan bukan hanya kaya keanekaragaman hayati, tetapi juga penyerap karbon raksasa, menyimpan sekitar 861 gigaton karbon atau setara dengan 100 tahun emisi bahan bakar fosil.

Namun, hutan semakin terancam oleh aktivitas manusia dan perubahan iklim. Tahun lalu, kebakaran hutan menyebabkan peningkatan deforestasi hutan tropis hingga 80%. Penelitian menunjukkan bahwa pengakuan hak atas tanah adat adalah kunci untuk mengatasi perubahan iklim.

"Bukti-buktinya jelas. Ketika hak wilayah adat dihormati, deforestasi menurun. Ketika hak tersebut diabaikan, kerusakan meningkat,” ujar Guajajara dalam pernyataan tertulisnya menjelang COP.

Memberi masyarakat adat kekuatan untuk menolak proyek seperti pengeboran minyak dan penambangan juga terbukti sebagai cara hemat biaya untuk melindungi alam. Studi 2023 menunjukkan bahwa pengakuan hak tanah di Amazon Brasil dapat mengurangi deforestasi hingga 66%. Tanpa wilayah adat yang dilindungi, emisi di Amazon diperkirakan 45% lebih tinggi.

Apa yang mungkin dicapai komunitas adat di COP30?

Beberapa capaian telah diraih bahkan sebelum COP30 dibuka secara resmi.

Puluhan negara telah berjanji memberi pengakuan formal atas hak tanah seluas 80 juta hektare yang dihuni masyarakat adat, keturunan Afrika, dan komunitas lokal lainnya pada 2030. Para pemimpin adat menyambut langkah ini dengan hati-hati karena penerapannya biasanya penuh tantangan.

Adanya peluncuran Tropical Forests Forever Facility (TFFF), usulan dana konservasi global senilai 125 miliar dolar Amerika atau sekitar 2,092 kuadriliun rupiah, juga menawarkan skema pembayaran kepada negara berdasarkan keberhasilan mereka melindungi hutan. Sebanyak 20% dari dana tersebut dijanjikan untuk diberikan ke masyarakat adat.

Meski langkah-langkah ini signifikan, Halvorson mengatakan TFFF tetap harus menjamin masyarakat adat agar memiliki akses yang langsung dan adil terhadap sumber daya yang mereka butuhkan.

Ia mengatakan, "COP30 bisa menjadi tonggak bagi keadilan iklim,” apabila komitmen di Belem tentang penandaan batas wilayah, pendanaan langsung, dan pengakuan global atas hak wilayah benar-benar dipenuhi.

Apakah COP30 benar-benar memperhatikan komunitas adat?

Kepada DW, Menteri Guajajara mengatakan bahwa penyelenggaraan COP tahun ini telah menandai partisipasi masyarakat adat terbesar sepanjang sejarah, termasuk adanya peran masyarakat adat yang lebih nyata dalam proses pengambilan keputusan. Namun, hanya sebagian kecil delegasi yang benar-benar memiliki akses ke area negosiasi yang terbatas.

"Memiliki izin masuk ke lokasi COP30 tidak menjamin suara dan pandangan perwakilan masyarakat adat Brasil akan didengar,” ujar organisasi Indigenous Climate Action.

Meski penyelenggaraan COP30 berhasil meningkatkan visibilitas isu masyarakat adat, sejauh ini hasilnya "masih belum sesuai harapan,” kata Alcebias Sapara.

Pekan ini, pengunjuk rasa dari komunitas masyarakat adat dua kali menghentikan pembicaraan iklim di Belem itu untuk menyuarakan tuntutan mereka. Pada Jumat (14/11), para pemimpin kelompok adat Munduruku menyerahkan daftar tuntutan kepada pemerintah Brasil, termasuk menolak penggunaan kredit karbon untuk deforestasi. Skema kredit karbon semakin dikritik karena dinilai gagal menurunkan emisi sesuai janji.

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Beberapa pihak merasa pemerintah Brasil tidak mendengarkan tuntutan mereka dan mengabaikan suara mereka, meskipun konferensi ini disebut sebagai "COP Adat", menurut pernyataan dari Indigenous Climate Action.

Dengan emisi global dan suhu yang terus naik, konsep “mutirão” dianggap bisa mendorong penerapan langkah nyata untuk menghadapi perubahan iklim, kata Hayley Walker, pengajar dan peneliti bidang negosiasi internasional di IESEG School of Management, Prancis.

"Jika dijalankan secara luas, seruan untuk “mutirão” bisa menjadi sumbangan berharga dari masyarakat adat Brasil bagi dunia, sekaligus mendekatkan kita pada langkah nyata yang dibutuhkan untuk menghadapi perubahan iklim,” ujar Walker.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Pratama Indra

Editor: Hani Anggraini

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement