Ahad 16 Nov 2025 22:27 WIB

Lula Serukan Aksi Nyata Saat Perundingan Iklim COP30 dimulai di Amazon

Saat COP30 dimulai, Presiden Brasil menyerukan aksi iklim yang lebih cepat. Analisis PBB menunjukkan emisi global diperkirakan hanya turun 12 persen pada 2035, jauh dari target pembatasan pemanasan global.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Pablo Porciuncula/AFP
Pablo Porciuncula/AFP

Konferensi iklim PBB tahun lalu di Baku, Azerbaijan, dibuka dengan pernyataan Presiden Ilham Aliyev yang menyebut minyak, bahan bakar fosil yang bersama gas dan batu bara mendorong pemanasan global, sebagai "anugerah Tuhan.”

Pembukaan konferensi iklim tahun ini, COP30, yang digelar di tepi Hutan Amazon di kota Belem, Brasil, menampilkan nada yang sangat berbeda. Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menyampaikan pidato tegas, menyerukan agar dunia berani menghadapi para penyangkal perubahan iklim.

"Perubahan iklim bukan lagi ancaman masa depan. Ini sudah menjadi tragedi masa kini,” kata Lula sambil mengecam pihak yang menolak sains iklim. Ia menegaskan bahwa krisis ini paling keras dirasakan negara-negara berkembang dan masyarakat miskin yang sudah berhadapan dengan cuaca ekstrem.

"Kita perlu transisi yang adil,” lanjutnya, merujuk pada upaya menuju dekarbonisasi ekonomi. Ia memperingatkan bahwa darurat iklim telah memperdalam kesenjangan antara "mereka yang bisa hidup layak dan mereka yang harus mati.”

Kini, para negosiator dari lebih dari 190 negara menghadapi tekanan besar untuk mencapai kemajuan dalam dua minggu ke depan, demi menekan emisi yang mencapai rekor tertinggi dan menahan kenaikan suhu global. Namun, di banyak negara, isu iklim mulai tergeser oleh kekhawatiran ekonomi dan keamanan yang semakin dominan.

Arah sudah benar, tapi lambat

Kepala badan iklim PBB, Simon Stiell, menyebut dunia telah membuat kemajuan sejak penandatanganan Kesepakatan Paris pada 2015 yang menargetkan pembatasan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius, dengan ambisi ideal 1,5 derajat dibanding masa praindustri.

Menurut Stiell, negara-negara berhasil menekan kurva emisi global agar mulai menurun, tetapi laju aksinya masih terlalu lambat.

"Saya tidak akan mempermanis keadaan,” ujarnya. "Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Kita harus bergerak jauh lebih cepat, baik dalam menurunkan emisi maupun memperkuat ketahanan.”

Sebelum Kesepakatan Paris, dunia diperkirakan menuju pemanasan hingga 3,5 derajat Celsius pada tahun 2100. Rencana aksi iklim nasional saat ini, yang dikenal sebagai Nationally Determined Contributions (NDC), dapat membatasi pemanasan sekitar 2,5 derajat jika seluruhnya dijalankan dengan baik. Namun, banyak negara belum memperbarui komitmen NDC mereka sebagaimana diminta menjelang COP30.

Analisis terbaru PBB memperkirakan emisi gas rumah kaca global akan turun sekitar 12 persen pada 2035 dibandingkan 2019, sedikit membaik dari proyeksi 10 persen bulan lalu. Angka ini sudah memasukkan komitmen baru dari Cina dan Uni Eropa, tetapi masih jauh dari target penurunan 60 persen yang dibutuhkan agar pemanasan tetap di bawah 1,5 derajat.

"Kita memang bergerak ke arah yang benar,” kata Lula, "tapi dengan kecepatan yang salah.”

PBB memperingatkan bahwa menjaga pemanasan di bawah 1,5 derajat kini hampir mustahil tanpa melampaui batas tersebut sementara waktu, kondisi yang bisa mengancam kelangsungan hidup negara kepulauan rendah seperti Tuvalu.

COP untuk aksi nyata

Masih belum jelas apakah negara-negara akan menargetkan kesepakatan ambisius di akhir KTT ini. Brasil, sebagai tuan rumah, menyebut COP30 kali ini sebagai momen "implementasi,” yaitu saatnya mengubah janji menjadi tindakan nyata.

Stiell menegaskan, langkah itu harus mencakup pengelolaan transisi dari bahan bakar fosil, peningkatan tiga kali lipat kapasitas energi terbarukan, serta penggandaan efisiensi energi. Ia juga menyoroti pentingnya kesepakatan untuk menentukan indikator kemajuan adaptasi iklim dan memperkuat dukungan finansial bagi negara berkembang.

Konferensi COP29 tahun lalu menyepakati bahwa negara-negara maju harus menyalurkan setidaknya 300 miliar dolar AS (sekitar Rp5.010 triliun) per tahun kepada negara berkembang hingga 2035. Namun, banyak pihak menilai jumlah itu masih jauh dari cukup. Salah satu tugas utama di Belem adalah mencari cara untuk meningkatkan angka tersebut hingga sekitar 1,3 triliun dolar AS (sekitar Rp21.710 triliun) per tahun.

Jumlah itu, kata Lula, "jauh lebih murah dibanding biaya perang.”

Membela sains, memperkuat kerja sama global

Di tengah ketegangan geopolitik, berbagai konflik yang masih berlangsung, dan absennya Amerika Serikat, negara penghasil emisi terbesar kedua di dunia, dari konferensi, Stiell menyerukan agar negara-negara tetap fokus pada kerja sama.

"Di forum COP30 ini, tugas kalian bukan saling berhadapan,” katanya. "Tugas kalian adalah menghadapi krisis iklim ini, bersama-sama.”

Andre Correa do Lago, diplomat iklim utama Brasil sekaligus presiden konferensi tahun ini, mengajak para negosiator mengamalkan semangat mutirão, sebuah kata dalam bahasa Portugis yang berasal dari istilah masyarakat adat, berarti kerja sama atau gotong royong.

Baik do Lago maupun Lula sama-sama menegaskan pentingnya membela sains dan kerja sama multilateral. Lula mengingatkan bahwa di “era berita palsu dan disinformasi,” keduanya tengah diserang. Ia menyebut konferensi ini sebagai “COP kebenaran” yang harus menjadi penangkal arus disinformasi tersebut.

Sebuah laporan yang dirilis pekan lalu menemukan bahwa penyebaran informasi menyesatkan terkait COP melonjak hingga 267 persen dalam beberapa bulan terakhir, menambah urgensi untuk memastikan komunikasi yang kredibel.

“Entah kita memilih untuk berubah bersama secara sadar, atau kita akan dipaksa berubah oleh tragedi,” tulis do Lago dalam suratnya kepada para negosiator menjelang pembukaan konferensi. “Kita bisa berubah. Tapi kita harus melakukannya bersama.”

Dampak bila dunia terus diam

Stiell memperingatkan bahwa kegagalan meningkatkan ambisi iklim akan menimbulkan dampak ekonomi dan kemanusiaan yang menghancurkan. “Tidak ada satu pun negara di sini yang mampu menanggungnya, karena bencana iklim bisa memangkas dua digit dari PDB nasional,” ujarnya.

Pernyataan itu disampaikan ketika super topan melanda Filipina dan hanya beberapa minggu setelah badai mematikan menerjang Jamaika serta Kuba bagian timur.

“Saat bencana iklim menghancurkan kehidupan jutaan orang, padahal kita sudah punya solusinya, hal itu tak akan pernah bisa dimaafkan,” kata Stiell.

Ia menambahkan, menunda aksi iklim sementara “kekeringan besar merusak panen dan membuat harga pangan melonjak” sama sekali tidak masuk akal, baik secara ekonomi maupun politik.

Stiell menegaskan bahwa solusi untuk mengatasi krisis iklim sebenarnya sudah ada. Energi angin dan surya kini menjadi sumber listrik termurah di sekitar 90 persen wilayah dunia. Investasi global di sektor energi terbarukan pun sudah dua kali lipat lebih besar dibanding bahan bakar fosil, dan tahun ini untuk pertama kalinya melampaui batu bara sebagai sumber listrik utama dunia.

“Secara ekonomi,” ujarnya, “transisi ini sama tak terbantahnya dengan besarnya biaya jika kita tidak bertindak.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Rivi Satrianegara

Editor: Yuniman Farid

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement