Ahad 16 Nov 2025 21:27 WIB

Koperasi Kompos, Siasat Mengatasi Sampah Sisa Makanan

Koperasi Kompos menjadi salah satu insisatif untuk menanggulangi sampah organik dapur, sumber terbesar sampah sisa makanan.

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Wildan Indrawan
Wildan Indrawan

Kegundahan selalu muncul di benak Fadjar Setyani setiap kali ia melihat truk sampah yang datang dan pergi di sekitar tempat tinggalnya di Jakarta. Di pikirannya, sampah-sampah itu hanya berpindah tempat, tetapi tidak akan hilang. "Masalah sampah tidak selesai dengan cara menempatkannya ke tempat pembuangan akhir," kata Fadjar.

Setiap kali Fadjar melihat berita dan informasi tentang tempat pembuangan sampah terpadu (TPST), ia tidak menemukan kabar baik soal sistem pengelolaan sampah.

"Saya merasa ada urgensi untuk tidak memproduksi sampah," kata Fadjar. Ia memutuskan untuk memulainya dari hal yang sangat dekat yakni mengelola sampah organik dapur. Jenis sampah tersebut bisa berupa sisa makanan maupun sisa bahan-bahan mentah seperti sayur dan tanaman bahan bumbu dapur.

Fadjar mendisiplinkan diri untuk mengompos sampah dapur. Seiring berjalannya waktu, Ia bersama seorang kawan, Shanty Syahril, memutuskan membentuk Koperasi Kompos. Fadjar dan Shanty merasa perlu membentuk gerakan komunitas untuk mengurangi sampah yang akan berujung di TPST.

Inisiatif Koperasi Kompos

Pada 2020 Fadjar dan Shanty membuat tempat pengolahan pupuk kompos di kawasan tempat tinggal mereka di Jakarta Timur dan membentuk Koperasi Kompos. Di saat yang sama, mereka mengajak para tetangga untuk ikut bergabung dalam gerakan Koperasi Kompos.

Mereka yang setuju menjadi anggota koperasi akan diberikan sebuah ember untuk memilah sampah organik dapur. Sampah organik dapur yang sudah dipilah akan diambil oleh petugas koperasi tiga kali dalam sepekan untuk diolah di tempat pengelolaan kompos.

Kini Koperasi Kompos telah memiliki 150 anggota. Setiap pekan, koperasi mengolah 300-400 kg sampah organik dapur. "Dalam satu bulan, kami menghilangkan 1,5 juta ton sampah organik dapur. Kami tidak memindahkan sampah ke TPST," kata Fadjar.

Setiap tiga bulan, para anggota koperasi mendapat pupuk kompos sebagai hasil dari usaha bersama. "Pupuk itu saya pakai untuk menghijaukan taman. Saya senang punya area hijau di rumah," kata Etty salah satu anggota Koperasi Kompos. Ia tergerak menjadi anggota setelah mendengar informasi dari Fadjar dan Shanty soal pengelolaan sampah di Jakarta.

Setiap anggota koperasi bisa mengakses situs Koperasi Kompos yang memuat rincian data pengelolaan sampah dan pemanfaatan anggaran setiap bulan. Para anggota koperasi juga rutin mengadakan pertemuan bulanan untuk membahas pencapaian dan agenda koperasi.

Meski demikian, Fadjar dan tim Koperasi Kompos menyadari bahwa gerakan mereka terbatas. "Agar semakin banyak warga mau memilah sampah, perlu ada sistem yang andal dari pemerintah untuk pengelolaan sampah terpilah," kata Fadjar.

Sampah sisa makanan, proporsi sampah terbesar

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat bahwa sampah sisa makanan adalah jenis sampah terbesar di Indonesia. Jumlahnya sekitar 14,7 juta ton pada 2024. Sebagian besar sampah makanan di negeri ini bersumber dari konsumsi makanan dalam rumah tangga.

Peneliti Ekonomi Lingkungan dari World Resources Institute Indonesia, Romauli Panggabean, menyebut salah satu faktor utama dari terciptanya sampah sisa makanan dalam lingkup rumah tangga adalah keterbatasan pengetahuan terhadap cara penyimpanan makanan.

"Persoalannya juga berlanjut ke cara pemilahan makanan, kebiasaan berbelanja, dan bias optimisme atau keyakinan seseorang dalam menghabiskan makanan. Ini bisa menyebabkan timbulan sampah," kata Romauli.

Romauli berpendapat bahwa pemerintah perlu membantu masyarakat dalam membuat sistem pengelolaan sampah sisa makanan. Salah satu caranya dengan membuat peraturan yang meminta masyarakat untuk memilah sampah dan mencegah sampah dibawa ke TPST.

"Sejauh ini baru pemerintah daerah Bandung yang punya aturan pengelolaan sampah yang demikian," kata Romauli. Pada 2018 pemerintah daerah Bandung membentuk Perda Kota Bandung No.9 yang mewajibkan warganya untuk memilah sampah organik, anorganik, dan sampah B3, serta menyebut berbagai fasilitas pendukung penyaluran sampah. Beberapa di antaranya bank sampah dan tempat sampah khusus.

"Selain peraturan, bisa juga ada disinsentif sampah. Adanya disinsentif iuran bisa membuat orang enggan membuang sampah. Pemerintah bisa memikirkan sistemnya," tutur Romauli.

Sampah makanan, permasalahan dunia

Sampah makanan tergolong masalah global. United Nation Environment Programme (UNEP) menyebut bahwa sampah sisa makanan terjadi di hampir seluruh dunia. Menurut perhitungan UNEP, setiap tahun total kerugian dari sampah sisa makanan jumlahnya bisa lebih dari US$1 triliun. Di samping itu, sampah sisa makanan juga membawa dampak buruk yang cukup signifikan terhadap lingkungan. UNEP memperkirakan bahwa sampah makanan setidaknya berkontribusi menambah emisi gas rumah kaca sebesar 8-10% pada 2024.

Para peneliti UNEP menyayangkan hal tersebut. Dalam laporan Food Waste Index 2024, UNEP menyebut ketimpangan sosial yang terjadi dalam sektor sampah makanan. Di satu sisi, sampah makanan adalah porsi sampah terbesar di dunia. Sementara di sisi lain, setidaknya ada 783 juta manusia kelaparan di dunia dan 150 juta anak kurang gizi.

Laporan Food Waste Index juga menyebut bahwa penumpukan sampah makanan mengalami peningkatan di beberapa daerah. UNEP tengah berupaya menyosialisasikan berbagai rencana penanggulangan sampah sisa makanan di beberapa negara. Rencana tersebut mencakup praktik perubahan perilaku bagi publik, peningkatan sistem pangan sirkuler, pembentukan kebijakan, dan berbagai metode penanggulangan sampah.

Editor: Arti Ekawati

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement