Ahad 23 Nov 2025 10:38 WIB

Transisi Berkeadilan: Siapa yang Bertransisi, Siapa yang Berkorban?

Di Indonesia, istilah Transisi Berkeadilan terdengar indah—tapi di daerah batu bara, masih berupa janji menanti wujud. Apakah Transisi Berkeadilan akan menjadi titik balik sejarah, atau justru babak baru ketidakadilan?

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Igor Mota/ZUMA/picture alliance
Igor Mota/ZUMA/picture alliance

Di Kalimantan Timur, deru conveyor tambang masih lebih bising daripada rencana masa depan. Di Sumatra Selatan, kekhawatiran soal masa depan jauh lebih besar daripada kepastian yang dijanjikan negara. Ratusan ribu pekerja, keluarga mereka, dan ekonomi lokal yang bertumpu pada batu bara menanti jawaban yang tak kunjung datang: Siapa yang benar-benar akan menanggung biaya Transisi Berkeadilan ini?

Sementara pusat kekuasaan sibuk berbicara angka dan dokumen, Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership) atau JETP terdampar dalam tawar-menawar politik.

Indonesia menyatakan tidak ada yang boleh tertinggal dalam urusan itu Namun bagaimana memastikan itu terjadi, ketika transisi dirancang dari pusat masih terbentang jauh dari garis depan perubahan: Pekerja tambang yang takut kehilangan penghasilan, perempuan yang mengelola ekonomi rumah tangga saat pendapatan menurun, komunitas adat yang tanahnya kembali dipertaruhkan atas nama "energi hijau,” dan anak-anak muda yang melihat masa depan mereka kabur di balik kabut ketidakpastian?

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim COP 30 di Belém, Brasil, DW mewawancarai Giovanni Maurice Pradipta, penasihat kebijakan organisasi Germanwatch yang mengikuti jalannya KTT Iklim di Brasil, mengenai strategi dan perkembangan terbaru Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JETP), yang menjadi salah satu instrumen pendanaan utama dalam percepatan peralihan energi Indonesia. Giovani menjelaskan bagaimana dinamika kebijakan, pendanaan, dan tantangan politik membentuk arah transisi Indonesia di tengah tekanan iklim global.

DW: Narasinya bahwa transisi berkeadilan di Indonesia masih berfokus pada penutupan PLTU. Bagaimana lembaga Anda menilai kesiapan sosial-ekonomi di daerah yang bergantung pada batu bara seperti Kalimantan Timur atau Sumatra Selatan — dan bukti apa yang menunjukkan bahwa rencana transisi mereka lebih dari sekadar "transisi di atas kertas”?

Giovanni Maurice Pradipta: Transisi Berkeadilan atau yang dikenal sebagai Just Transition (JT) menjadi sangat penting saat PLTU ditutup karena penutupan ini berdampak langsung pada pekerja di pembangkit dan tambang, keluarga mereka, serta para pekerja tidak langsung yang menggantungkan hidup pada rantai pasok di wilayah batu bara. Seluruh ekosistem ekonomi lokal akan terdampak. Namun kondisi ini tidak boleh menjadi alasan untuk menunda transisi. Transisi Berkeadilan yang sesungguhnya harus mencakup bukan hanya pekerja, tetapi juga seluruh komunitas yang terkena dampak ketika Indonesia menuju target net-zero.

Namun, dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) serta banyak posisi negara lain masih menekankan, bahkan terkadang hanya berfokus, pada pekerja ketika membahas masalah JT dan di dalam ruang negosiasi Just Transition Work Programme (JTWP). Ini menjadi tantangan. Upaya JT yang telah disebutkan dalam SNDC perlu diperkuat secara signifikan. Transisi Berkeadilan juga membutuhkan kolaborasi lintas pemerintah pusat dan daerah (misalnya Kalimantan Timur dan Sumatra Selatan), masyarakat sipil, dan komunitas lokal.

Instrumen pembiayaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) sering tersendat oleh tarik-menarik kepentingan politik dan industri. Apa saja salah persepsi yang paling umum terkait "kemauan politik” Indonesia dalam transisi energi — dan bagaimana peran NGO untuk meluruskannya di level kebijakan maupun opini publik?

Menurut kami, lambatnya JETP terutama dipengaruhi oleh dua hal:

(1) Mayoritas pendanaan ditawarkan dalam bentuk pinjaman, meskipun bersifat konsesional, dan

(2) Nilai paket US$20 miliar sangat kecil jika dibandingkan kebutuhan Indonesia yang diperkirakan sekitar US$20 miliar per tahun untuk transisi energi menyeluruh.

Indonesia juga menghadapi tantangan awal dalam mempersiapkan diri menerima pendanaan, misalnya dalam menyusun prinsip Transisi Berkeadilan, menyiapkan mekanisme pembiayaan, serta menyiapkan proyek yang dapat dimasukkan ke dalam JETP. Ini tidak otomatis berarti Indonesia tidak mau bergerak atau lamban; prosesnya memang jauh lebih kompleks daripada perkiraan awal.

Belakangan, kemajuan mulai terlihat, terutama sejak pemerintah Jerman menjadi co-lead bersama Jepang. Namun Indonesia tetap perlu memperluas strategi transisinya, termasuk memobilisasi sumber daya publik dan domestik, misalnya dengan mengalihkan subsidi fosil yang tidak efisien agar dapat mencapai target emisi dan aksi iklim. NGO dapat berperan memperkuat desain kebijakan dan meningkatkan pemahaman publik. Ini menjadi sangat penting karena titik kritis iklim semakin dekat, dan tidak ada yang boleh tertinggal.

Seberapa besar risiko bahwa Transisi Berkeadilan di Indonesia justru menjadi proses yang top-down dan teknokratis — terutama bagi masyarakat adat yang terdampak ekspansi energi terbarukan seperti panas bumi dan PLTA? Bagaimana risiko ini seharusnya diukur?

Sistem energi Indonesia (dan proses transisinya) pada dasarnya sangat top-down. BUMN seperti PLN dan Pertamina memiliki mandat langsung untuk memproduksi, memasok, dan mendistribusikan energi. Struktur ini dapat mempercepat atau justru menghambat perubahan. Secara teori, jika BUMN memutuskan beralih penuh ke energi terbarukan besok, sistem yang ada akan langsung bergerak mengikuti, walau hal ini tentu tidak realistis.

Pada saat yang sama, sudah banyak inisiatif energi komunitas (communal energy) yang menjanjikan. Proyek proyek di beberapa desa di Sumba, Sulawesi, dan Kalimantan, misalnya, telah menjalankan proyek energi terbarukan secara mandiri. Inisiatif seperti ini perlu diakui dan didukung sebagai bagian dari transisi energi berkeadilan yang lebih luas.

Pemerintah mengatakan bahwa transisi energi Indonesia akan menciptakan banyak sekali lapangan kerja baru. Bagaimana organisasi Anda memverifikasi klaim ini — dan bukti apa yang digunakan untuk menilai apakah pekerjaan tersebut layak, berkelanjutan, dan terdistribusi secara adil?

Sebagai organisasi internasional, kami mengandalkan pakar Indonesia dalam melakukan verifikasi. Estimasi saat ini menunjukkan 150.000 hingga 400.000 pekerja sektor batu bara bisa terdampak transisi. Sementara itu, Bappenas melalui Roadmap Tenaga Kerja Hijau menargetkan penciptaan lapangan kerja hijau baru. Kami sedang menganalisis lebih jauh target tersebut dan dampak nyatanya. Analisis awal menunjukkan skenario moderat Bappenas memperkirakan empat juta pekerjaan hijau pada 2025, berkembang menjadi lima juta pada 2029. Namun, kami perlu meninjau metodologi yang digunakan, karena terdapat beberapa sektor, misalnya pertambangan dan penggalian, yang definisinya masih perlu diperjelas.

Jika Indonesia terus bergantung pada co-firing biomassa dalam strategi transisinya, apakah pendekatan ini selaras dengan prinsip transisi berkeadilan — atau justru berisiko menimbulkan deforestasi, konflik lahan, dan kerentanan baru dalam rantai pasok?

Tidak, ini tidak konsisten dengan prinsip Transisi Berkeadilan. Setiap negara memiliki kapasitas dan sumber daya yang berbeda, dan Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara. Co-firing menjadi salah satu cara pemerintah mempertahankan infrastruktur yang ada selama masa transisi.

Yang terpenting bagi kami adalah menghindari kerusakan hutan primer dan ekosistem penting lainnya, serta memastikan penghentian bahan bakarfosil berlangsung dengan tempo secepat-cepatnya dan dengan tahapan yang jelas tanpa mengabaikan orang-orang yang terdampak. Pendekatan ini jauh lebih selaras dengan prinsip Transisi Berkeadilan.

Bagaimana dengan Belem Action Mechanism (BAM) - usulan dalam Just Transition Work Programme untuk memastikan upaya Transisi Berkeadilan oleh negara dan pemangku kepentingan nonnegara agar dapat terus berlanjut setelah mandat dari UNFCCC untuk JTWP berakhir?

JTWP sendiri yang akan ditinjau pada 2026. Usulan ini didukung banyak NGO dan merupakan salah satu opsi paling komprehensif untuk sebuah mekanisme Transisi Berkeadilan.

BAM dirancang untuk menjalankan tiga fungsi utama: Koordinasi dan koherensi, berbagi dan menghasilkan pengetahuan, serta dukungan dan aksi. Menurut kami, sebagai bagian untuk melengkapi mekanisme ini, sebaiknya mekanisme ini mencakup cara untuk memantau dan meminta pertanggungjawaban negara terkait kemajuan Transisi Berkeadilan mereka. Ini penting karena implementasi Transisi Berkeadilan harus disesuaikan dengan konteks nasional masing-masing negara.

Kami mendorong negara-negara untuk mengadopsi opsi dalam negosiasi JTWP yang mencerminkan pendekatan BAM, agar Transisi Berkeadilan dapat terus hidup dan berkembang.

Bagaimana dengan analisa Climate Change Performance Index (CCPI) dan Climate Risk Index (CRI) Indonesia?

Indonesia memiliki posisi unik sebagai negara berkembang yang cukup maju, dengan potensi kuat untuk mitigasi sekaligus adaptasi, tetapi juga sangat rentan terhadap dampakperubahan iklim.

Menurut Climate Risk Index (CRI), yang mengukur dampak kejadian cuaca ekstrem terkait iklim, Indonesia berada di peringkat 27 dari 174 negara. Ini menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang paling terdampak perubahan iklim.

Dalam Climate Change Performance Index (CCPI), Indonesia berada di peringkat 43 tahun ini, masuk dalam kelompok berkinerja rendah. Salah satu penyebab utama adalah belum adanya rencana yang jelas untuk menghentikan PLTU batu bara. Selain itu, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mereformasi pasar listrik dan energi untuk mendukung integrasi energi terbarukan. Walaupun Indonesia telah membuat berbagai komitmen kuat di forum internasional, banyak janji tersebut yang masih perlu diwujudkan dalam regulasi nasional.

Kami mendorong Indonesia serta seluruh negara untuk tidak hanya hadir, tetapi juga mengambil peran aktif dalam aksi iklim global. Ini termasuk mendukung keputusan-keputusan yang mencerminkan Transisi Berkeadilan serta memastikan hasil COP diterapkan secara efektif di dalam negeri.

*Editor: Yuniman Farid

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement