Rabu 26 Mar 2025 11:23 WIB

LPSK Sayangkan Hakim Tolak Restitusi Korban Penembakan Bos Rental

Para terdakwa masih memiliki kemampuan membayar kerugian, mereka masih muda.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erik Purnama Putra
Terdakwa kasus pembunuhan bos rental mobil dan penadahan mobil saat sidang pembacaan putusan di Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Selasa (25/3/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Terdakwa kasus pembunuhan bos rental mobil dan penadahan mobil saat sidang pembacaan putusan di Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Selasa (25/3/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Restitusi yang diajukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait dua korban kasus penembakan bos rental Tangerang ditolak hakim dalam sidang vonis di Pengadilan Militer II-08 Jakarta, Selasa (26/3/2025). Majelis hakim tidak mengabulkannya karena ketiga terdakwa dijatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan pemecatan dari dinas militer.

Wakil Ketua LPSK Sri Nurherwati menyayangkan pertimbangan hukum dalam menolak restitusi. Sri menekankan, pentingnya pengadilan memberikan pengakuan hak korban dan keluarga atas restitusi.

Baca Juga

"Para terdakwa masih memiliki kemampuan membayar kerugian, mereka masih muda punya keahlian sebagai anggota TNI yang dapat dioptimalkan agar produktif dan mampu membayar restitusi," kata Sri dalam keterangan pers di Jakarta pada Rabu (26/3/2025).

Dalam salah satu pertimbangan majelis hakim adalah karena keluarga sudah menerima santunan dari pelaku. Padahal, santunan dan restitusi merupakan dua hal yang berbeda. Restitusi adalah hak korban atas kerugian akibat tindak pidana sebagai tanggung jawab pelaku. Sedangkan santunan bukan merupakan suatu bentuk pertanggungjawaban pidana.

"Santunan bukan pengganti hak korban mendapatkan ganti kerugian akibat tindak pidana, tapi belas kasih biasa dan bukan penghapus tindak pidana. Jika hakim menolak restitusi berarti mengabaikan hak korban untuk pemulihan yang menjadi tanggung jawab pelaku," ujar Sri.

Penetapan restitusi mengacu dua payung hukum. Aturannya merujuk Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.

Dalam beleid tersebut dijelaskan perkembangan sistem peradilan pidana tidak hanya berorientasi kepada kepentingan pelaku, tetapi juga berorientasi kepada perlindungan korban. "Sehingga setiap korban tindak pidana tertentu selain mendapatkan hak atas perlindungan juga berhak atas restitusi," ujar Sri.

Dia menyebut, salah satu tantangan restitusi adalah persamaan persepsi dengan aparat penegak hukum. Padahal makna restitusi adalah pemulihan korban. "Selain pemaksimalan hukuman bagi pelaku, mestinya penderitaan korban berupa pembayaran restitusi juga masuk dalam komponen efek jera," ujar Sri.

Sesuai Perma Nomor 1 Tahun 2022, koban berhak memperoleh restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan; ganti kerugian materiil maupun imateriil yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan kerugian lain yang diderita Korban sebagai akibat tindak pidana seperti transportasi, biaya pengacara, atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement