Kamis 04 Dec 2025 00:45 WIB

Pengadilan Tegaskan Uang Suap untuk Sosial Bukan Alasan Pembenar

Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat menegaskan bahwa penggunaan uang suap untuk kegiatan sosial tidak dapat mengurangi hukuman pidana.

Rep: antara/ Red: antara
Hakim tegaskan uang suap digunakan untuk sosial bukan alasan pembenar.
Foto: antara
Hakim tegaskan uang suap digunakan untuk sosial bukan alasan pembenar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, – Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaskan bahwa penggunaan uang suap untuk kegiatan sosial tidak dapat dijadikan alasan pembenar atau pemaaf dalam upaya mengurangi hukuman pidana terhadap terdakwa. Penegasan ini disampaikan dalam sidang kasus dugaan suap yang melibatkan hakim nonaktif, Djuyamto, terkait putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) periode 2023-2025.

Dalam sidang yang berlangsung di Jakarta, Rabu, Hakim Andi Saputra menyatakan bahwa hasil korupsi, meskipun digunakan untuk membangun pusat dakwah, masjid, atau sarana keagamaan lainnya, tetap tidak dapat dibenarkan. "Hal itu sejalan dengan pesan kullu maa jaa'a minal-haraami fahuwa haraam, artinya segala yang berasal dari yang haram maka hukumnya haram," ujarnya.

Hakim Ketua Effendi menambahkan bahwa dalam konteks hukum pidana, prinsip fundamental menyatakan bahwa penggunaan hasil tindak pidana tidak menghilangkan sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut. Pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, delik suap kepada hakim terwujud saat hakim menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan, terlepas dari penggunaan uang tersebut setelahnya.

Hakim menolak dalil penasihat hukum yang menyatakan bahwa penggunaan uang untuk kegiatan sosial budaya menunjukkan terdakwa tidak serakah. "Alasan tersebut mengandung cacat logika, bagian dari modus pencucian uang, serta menunjukkan kesadaran untuk menyembunyikan perbuatan," tegas Hakim Ketua.

Kasus ini melibatkan lima terdakwa, yakni Ketua PN Jakarta Selatan periode 2024-2025 Muhammad Arif Nuryanta; tiga hakim nonaktif yaitu Djuyamto, Ali Muhtarom, dan Agam Syarief Baharuddin; serta Mantan Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Kelimanya dinyatakan bersalah menerima suap dan dijatuhkan hukuman penjara serta denda.

Djuyamto, Ali, dan Agam masing-masing divonis 11 tahun penjara, Arif selama 12 tahun 6 bulan, dan Wahyu selama 11 tahun 6 bulan. Selain itu, mereka juga dikenakan denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Uang pengganti yang harus dibayar oleh para terdakwa adalah senilai dengan suap yang diterima: Djuyamto Rp9,1 miliar, Ali Rp6,4 miliar, Agam Rp6,4 miliar, Arif Rp14,73 miliar, dan Wahyu Rp2,36 miliar. Jika tidak dibayar, uang pengganti ini akan diganti dengan tambahan hukuman penjara.

Konten ini diolah dengan bantuan AI.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement