REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam penyidikan korupsi tata kelola dan ekspor impor minyak mentah di PT Pertamina periode 2018-2023. Salah-satu yang diumumkan sebagai tersangka adalah Riva Siahaan (RS) selaku direktur utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga.
Peningkatan status hukum oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana (Jampidsus) tersebut turut menjerat Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International dan Yoki Firnandi (YF) sebagai dirut PT Pertamina Shipping.
Kemudian, Vice President Feedstock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono (AP) juga ikut dijerat sebagai tersangka. Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar mengatakan, tiga tersangka lainnya berasal dari pihak swasta.
Mereka adalah Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku benefit official atau pemilik manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus komisaris PT Jenggala Maritim. Terakhir adalah Gading Ramadhan Joedo (GRJ) sebagai komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus dirut PT Orbit Terminal Merak
"Berdasarkan alat-alat bukti yang cukup tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menetapkan ketujuh orang tersebut sebagai tersangka," kata Qohar di Gedung Kartika Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (24/2/2025) malam WIB.
Kecukupan alat bukti tersebut, kata Qohar, berupa hasil pemeriksaan terhadap 96 saksi dan dua ahli yang sudah diperiksa oleh tim penyidik Kejagung sejak Oktober 2024. Penyidikan juga mengeklaim, memiliki barang bukti dari hasil sitaan sebanyak 969 dokumen, serta 45 surat-surat elektronik.
Setelah diumumkan tersangka, ketujuh orang tersebut dijebloskan ke sel tahanan. Penahanan sepanjang 20 hari terhitung 24 Februari 2025 dilakukan untuk mempercepat berkas perkara.
Qohar menerangkan, kasus yang menjerat ketujuh tersangka itu terkait korupsi dalam tata niaga, dan ekspor impor minyak mentah oleh PT Pertamina. Kasus tersebut juga terkait dengan manipulasi kualitas bahan bakar minyak (BBM) dalam pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
Dari penghitungan sementara, kata Abdul Qohar, nilai kerugian keuangan negara pada kasus tersebut mencapai Rp 193,7 triliun sepanjang 2018-2023. Menurut Qohar, selama periode lima tahun itu, pemenuhan minyak mentah dalam negeri seharusnya wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari hasil eksplorasi di Indonesia.
Dia menyebut, PT Pertamina diwajibkan mencari pasokan minyak bumi hasil dari produksi para kontraktor eksplorasi di dalam negeri. "Hal tersebut wajib dilakukan sebelum PT Pertamina merencanakan untuk melakuka impor minyak bumi untuk kebutuhan di dalam negeri," kata Qohar.
Keharusan tersebut, sambung dia, Qohar berdasarkan Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Enerji dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang Priorotas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan di Dalam Negeri. Tetapi, kata Qohar, dari hasil penyidikan terungkap, tiga tersangka dari PT Pertamina, yakni RS, SDS, dan AP melakukan konsolidasi.
Mereka kompak melakukan pengkondisian melalui rapat optimalisasi hilir (ROH) yang dijadikan dasar dalam menurunkan produksi perkilangan minyak bumi di dalam negeri. "Sehingga produksi kilang minyak bumi di dalam negeri tidak terserap seluruhnya," ujar Qohar.
Pilih impor
Atas pengkondisian oleh tersangka RS, SDS, dan AP tersebut membuat pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara mengimpor. "Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan maka produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama) sengaja ditolak," ujar Qohar.
Penolakan tersebut dikatakan Qohar atas dasar produksi minyak mentah oleh KKKS yang tak memenuhi nilai ekonomis. "Padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range HPS (harga perkiraan sendiri)," ujarnya.