Jumat 13 Dec 2024 18:42 WIB

Pakar Tata Negara UGM Curiga Ada Agenda Besar di Balik Usulan Kepala Daerah Dipilih DPRD

Prabowo mengusulkan pemilihan kepala daerah dikembalikan atau dipilih oleh DPRD.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Mas Alamil Huda
Petugas KPPS melakukan penghitungan surat suara pada Pilkada serentak 2024 di TPS 032, Kebon Melati, Jakarta Timur, Rabu (27/11/2024).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Petugas KPPS melakukan penghitungan surat suara pada Pilkada serentak 2024 di TPS 032, Kebon Melati, Jakarta Timur, Rabu (27/11/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Usulan Presiden Prabowo Subianto agar pemilihan gubernur dan wakil gubernur melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dinilai sebagai wacana kemunduran dalam demokrasi di Indonesia. Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Yance Arizona menilai, sistem pemilihan melalui lembaga perwakilan tersebut bakal kembali memutus partisipasi rakyat secara langsung dalam menentukan siapa pemimpin yang diharapkan.

Pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai pemilih tersebut, menurut Yance, yang selama ini seharusnya dirawat oleh Presiden Prabowo sebagai tolok ukur kualitas tinggi demokrasi di Indonesia. “Saya menilai pandangan Presiden Prabowo yang mengusulkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bukan lagi pemilihan langsung, sebagai komitmen yang lemah terhadap demokrasi,” begitu kata Yance saat dihubungi Republika dari Jakarta, Jumat (13/12/2024).

Baca Juga

Namun menurut Yance, penyampaian Presiden Prabowo itu bukan tanpa maksud. Yance menilai, Presiden Prabowo yang melempar usulan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD sebetulnya merupakan anak tangga pertama dalam wacana politik mengembalikan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

“Kalau ini (pilkada melalui DPRD) dibiarkan, bisa menjalar. Jangan-jangan Presiden Prabowo pun sebenarnya juga mau mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR, bukan lagi langsung oleh rakyat,” ujar Yance.

Kata Yance, masyarakat dan pegiat sipil semestinya manaruh sikap curiga dan mengkritisi wacana tersebut. Karena semestinya, pemilihan secara langsung kepala daerah, pun juga kepala negara oleh rakyat yang selama ini sudah dilakukan, merupakan buah dari pohon reformasi yang sudah tertanam seperempat abad. Kata Yance, pohon reformasi tersebut yang semestinya tetap dirawat untuk selalu menghasilkan buah yang berkualitas baik.

“Semangat demokratisasi yang sudah diwariskan dari reformasi adalah salah satunya gagasan tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan di tangan rakyat, yang itu diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat,” kata Yance.

Yance juga menilai, efisiensi dan koreksi biaya politik tinggi yang disebut-sebut Presiden Prabowo sebagai alasan untuk mengembalikan pemilihan ke DPRD sebagai masalah yang tak lagi relevan. Karena menurut dia, produk legislasi tentang pemerintahan daerah, pun perundangan tentang pemilihan kepala daerah sudah mengantisipasi.

“Dari sisi biaya penyelenggaraan pilkada, selama ini sudah dibuat secara serentak yang itu untuk meminimalisir biaya jika dibandingkan dengan pemilihan yang tidak serentak. Sehingga sebenarnya efisiensi anggaran tersebut sudah dilakukan,” kata Yance.

Akan tetapi, kata Yance, jika efisiensi dan biaya politik tinggi yang dimaksud Presiden Prabowo tersebut menjadikan para pasangan calon (paslon) pilkada dan partai-partai politik (parpol) sebagai ‘korban’, hal tersebut memang kerap terjadi. Namun begitu, kata Yance, objek koreksinya bukan pada pengubahan sistem lama yang juga sudah terbukti sarat praktik biaya tinggi akibat transaksional elite.

Justru kata Yance, objek koreksinya adalah para internal parpol pengusung pun para paslonnya. Karena praktik biaya tinggi dalam pemilu, maupun pilkada itu disebabkan karena praktik mahar-mahar. Padahal, kata Yance, ragam perundangan terkait pemilu, pun pilkada sudah menutup semua celah biaya tinggi atas praktik mahar-mahar politik dalam setiap pencalonan ataupun pengusungan.

“Seharusnya parpol dan paslon membangun kultur politik yang sehat dengan menekan, dan meminimalisir beban-beban biaya politik yang tinggi. Mekipun telah dilarang dalam UU Pemilu, dan UU Pilkada, tetap saja biaya praktik mahar politik untuk pencalonan itu masih sering terjadi,” kata Yance.

Semakin tinggi biaya politik tersebut, dengan melihat fakta pengeluaran para paslon dalam praktik politik uang untuk bisa diusung maupun dipilih. “Dan itu yang membuat pemilihan umum kita berbiaya tinggi. Jadi menurut saya, kesalahannya bukan di sistemnya. Dan bukan sistemnya yang diubah dikembalikan ke DPRD,” kata Yance.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement