Rabu 15 Jan 2025 16:03 WIB

LSI Denny JA: Pilkada Sebaiknya Mengikuti Aturan Pilpres yang Baru

Biarkan setiap partai memiliki hak untuk mencalonkan kepala daerah.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, Adjie Alfaraby, saat memaparkan hasil riset tentang sntimen publik atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pilpres.
Foto: istimewa/doc humas
Peneliti Lingkaran Survei Indonesia Denny JA, Adjie Alfaraby, saat memaparkan hasil riset tentang sntimen publik atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pilpres.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Adjie Alfaraby, mengatakan, berdasarkan riset yang dilakukan lembaganya, sebanyak 68,19 persen responden memberikan sentimen positif atas putusan MK tahun 2024, yang membolehkan setiap partai politik mengajukan calon presiden.

“Agar sebangun dengan aturan pilpres yang baru, aturan pilkada harus pula diubah. Bukan kepala daerah dipilih oleh DPRD, tapi sebagaimana pilpres, pilkada tetap dipilih langsung oleh rakyat, dan setiap partai politik dibolehkan mengajukan calon kepala daerah,” ungkap Adjie, Rabu (15/1/2025).

Riset LSI Denny JA ini dilakukan tanggal 2-7 Januari 2025. Riset ini  menggunakan  aplikasi yang membaca percakapan di media sosial dan media online di internet. Informasi dikumpulkan dari berbagai platform digital seperti media sosial, berita online, blog, forum, video, hingga podcast.

Dijelaskannya, mayoritas percakapan melihat keputusan MK tahun 2024 soal pilpres ini sebagai langkah berani, yang membawa demokrasi ke arah yang lebih inklusif. “Setiap partai kini memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan presiden, membuka ruang yang lebih luas bagi representasi rakyat. Dalam sistem yang baru ini, kompetisi politik tidak lagi menjadi arena dominasi partai besar,” kata Adjie.

Momentum ini, menurut Adjie, seharusnya tidak berhenti di tingkat nasional. Pilkada, sebagai cerminan demokrasi lokal, juga perlu mengikuti model ini. “Biarkan setiap partai, tanpa terkecuali, memiliki hak untuk mencalonkan kepala daerah. Inilah wajah demokrasi yang sejati,” ungkapnya.

Dari 7.079 percakapan digital yang dikaji LSI Denny JA, mayoritas bersumber dari berita online dan video, menunjukkan antusiasme masyarakat terhadap isu ini. Terhadap putusan MK soal pilpres itu, hanya 31,81 persen responden menunjukkan sentimen negatif.

Kekhawatiran mereka, jika setiap partai dibolehkan mencalonkan capres, ada risiko fragmentasi politik. Artinya akan hadir banyak kandidat presiden yang dapat memecah suara rakyat.

Tetapi, menurut Adjie, demokrasi yang sejati justru seharusnya memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih dari banyak pilihan. Risiko ini, jika dikelola dengan baik, justru dapat menjadi peluang untuk memperkaya debat publik dan memperdalam kedewasaan demokrasi.

Secara umum ada lima alasan utama mendukung penghapusan presidential threshold. Pertama, demokrasi menjadi lebih inklusif karena semua partai memiliki hak yang sama untuk mencalonkan kandidat. Kedua, kompetisi politik menjadi lebih sehat karena dominasi partai besar berkurang.

Ketiga, peluang bagi pemimpin baru terbuka lebar, memberikan harapan kepada tokoh-tokoh muda dan inovatif. Keempat, politik transaksional, yang selama ini menjadi momok dalam sistem politik dapat diminimalkan. Kelima, partisipasi publik meningkat karena rakyat merasa suara mereka benar-benar berarti.  

Pilkada lewat DPRD

Terkait wacana pemilihan kepala daerah melalui DPRD untuk efisiensi biaya, menurut riset LSI Denny JA  justru memunculkan sentimen yang sangat negatif. Dari 1.898 percakapan yang dianalisis, 76,3 persen menunjukkan penolakan. 

“Publik khawatir transparansi akan menjadi korban, dan politik transaksional di DPRD akan meningkat,” ungkap Adjie.  Hanya 23,7 persen yang mendukung wacana ini, dengan alasan efisiensi biaya.

Diingatkan Adjie, demokrasi bukan sekadar soal efisiensi, demokrasi adalah investasi dalam legitimasi, keterwakilan, dan kepercayaan rakyat. “Solusi untuk perbaikan pilkada justru tetap dengan pemilihan langsung oleh rakyat, tapi setiap partai dibolehkan mencalonkan kepala daerah,” kata Adjie.

Adjie memberikan contoh penerapan di negara Di Swiss, Kanada maupun Prancis. Di Swiss partai kecil memiliki peluang besar untuk mencalonkan kandidat, memberikan representasi politik yang lebih luas.

Di Kanada, sistem tanpa ambang batas berhasil mengurangi korupsi politik. Di Prancis, model ini melahirkan pemimpin inovatif seperti Emmanuel Macron.

“Indonesia, dengan segala keberagamannya, juga memiliki potensi untuk melangkah ke arah yang sama. Demokrasi yang inklusif dan kompetitif bukan hanya mimpi, tetapi tujuan yang dapat dicapai dengan keberanian untuk berubah,” paparnya.

Penghapusan ambang batas tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat nilai-nilai demokrasi. Baik di tingkat nasional maupun lokal, sistem ini memberikan ruang yang lebih besar bagi rakyat untuk menjadi aktor utama dalam demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement