REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, melihat langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) mengejar pengembalian kerugian negara disebabkan karena penjara tidak membuat koruptor maupun calon koruptor jera. Selain itu, negara perlu uang untuk menjalankan program-program kerakyatannya.
“Seringkali pemidanaan penjara terhadap koruptor tidak membuat jera, karena di samping koruptor bisa keluar masuk sel karena fasilitas baik berobat kesehatan maupun alasn lain, juga hukuman penjara itu tidak mrmbuat jera bagi calon-calon atau koruptor baru,” ungkap Abdul Fickar.
Pendapat ini disampaikan Abdul Fickar menanggapi hasil survei LSI Denny JA, yang menempatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai lembaga yang paling dipercaya publik (61 persen). Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (60 persen) dan Kepolisian (54,3 persen). Salah satu hal yang menyebabkan kepercayaan tinggi dinilai karena masyarakat senang dengan langkah Kejagung yang mengejar pengembalian kerugian dari tangan koruptor.
Abdul Fickar mengatakan, penyitaan aset koruptor dalam rangka mengembalkan kerugian negara menjadi pilihan penting. Bahkan jika mungkin, kata dia, koruptor itu dimiskinkan karena sudah mengambil jatah rakyat melalui program-program negara untuk kesejahtraan rakyat dengan mengambilnya untuk kepentingan sendiri.
Ditambahkan Abdul Fickar, negara sangat butuh atas pengembalian kerugian itu. Menurutnya, sumber APBN untuk membiayai penyelenggaraan negara tidak akan pernah cukup jika hanya digantungkan dari pendapatan pajak.
Abdul Fickar juga menyinggung tentang pentingnya DPR untuk segera mengesahkan UU Perampasan Aset. Hal ini karena dengan undang-undang ini negara bisa merampas aset-aset tanpa harus menempuh jalan panjang melalui peradilan.