REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menegaskan revisi Undang-Undang Pemilu wajib berpatokan pada rekayasa konstitusional yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Pemerintah menjanjikan akan taat dengan putusan tersebut.
Hal itu disampaikan Supratman menyangkut perubahan terhadap Pasal 222 UU No. 17 Tahun 2017 tentang presidential threshold. Perubahan ini diperlukan setelah dibatalkannya pasal dalam UU Pemilu itu oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Tidak boleh rekayasa konstitusional itu disahkan kepada perolehan suara ataupun kursi. Kan itu intinya tuh. Nah karena itu pasti ini akan dipenuhi," kata Supratman setelah menghadiri pencanangan komitmen bersama pembangunan zona integritas dan launching transformasi digital Kemenkum pada Selasa (7/1/2025).
Supratman belum dapat menjawab soal apakah semua partai politik akan masing-masing boleh mencalonkan Presiden. Sebab hal itu masih dibahas oleh pemerintah dan DPR.
"Nah nanti akan dibahas di revisi undang-undang tentang pemilu partai politik maupun pemilukada," ujar Supratman.
Hanya saja, Supratman menjamin pemerintah menghormati keputusan MK terkait penghapusan presidential threshold. Sehingga keputusan MK tersebut pasti akan dipenuhi oleh pemerintah.
"Karena putusan MK itu kan final and binding. Jadi tidak ada upaya hukum berikut, tidak ada pilihannya pemerintah pasti taat," ujar Supratman.
Supratman juga sudah meminta Ditjen Peraturan Perundang-Undangan mengkaji putusan MK itu. Sehingga nantinya pemerintah dapat membahasnya bersama DPR.
"Saya sudah minta Dirjen PP untuk mengkajinya sebelum disampaikan kepada DPR," ucap Supratman.
Diketahui MK pada Kamis (2/1/2025) memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. MK menyatakan presidential threshold tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Pada pertimbangan hukumnya, MK juga memberi lima pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering). Pedoman pertama, yakni semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan capres-cawapres.
Sementara itu, pada pedoman ketiga, MK mengatakan partai politik peserta pemilu dapat bergabung dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, sepanjang gabungan tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik yang menyebabkan terbatasnya pasangan calon dan pilihan bagi pemilih.
Adapun, dalam pedoman kelima, MK mengamanatkan agar rekayasa konstitusional itu dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu, dengan menerapkan prinsip partisipasi yang bermakna.