Selasa 07 Jan 2025 16:28 WIB

Menko Yusril Yakin Pihak yang Ingin Mengembalikan Presidential Threshold akan Sia-Sia

Menjadi kewajiban bagi DPR dan pemerintah untuk mengubah Pasal 222 UU Pemilu.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Mas Alamil Huda
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.
Foto: Republika/Febryan A
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN — Usaha memunculkan kembali presidential threshold dalam perubahan Undang-Undang (UU) 7/2017 tentang Pemilu pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) 62/2024 dinilai langkah politik sia-sia. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan, putusan MK yang menghapuskan presidential threshold harus ditaati oleh pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan perumusan norma baru pengganti Pasal 222 UU Pemilu.

Yusril mengatakan, memang menjadi kewajiban bagi DPR dan pemerintah untuk mengubah Pasal 222 UU Pemilu. Pasal tersebut mengatur soal syarat minimal 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara nasional bagi partai politik (parpol) maupun gabungan parpol dalam pengusungan capres-cawapres untuk pilpres sebelum dibatalkan melalui putusan MK 62/2024.

Baca Juga

“Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari DPR,” kata Yusril dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Selasa (7/1/2025).

Kata Yusril, dalam perevisian pasal presidential threshold tersebut, pemerintah saat ini dalam posisi tunduk dan patuh terhadap putusan MK. “Apapun putusan yang diambil oleh mahkamah (MK), pemerintah patuh, dan kita tahu putusan MK adalah final dan binding, tidak ada upaya hukum apapun yang dapat dilakukan,” begitu ujar Yusril.

Namun, guru besar hukum tata negara (HTN) itu mengatakan, dalam konstelasi maupun perdebatan politik di DPR untuk perevisian Pasal 222 UU Pemilu, bisa saja ada usaha-usaha agar presidential threshold tetap ada meskipun MK sudah menghapuskan. Akan tetapi Yusril meyakini, jika syarat ambang batas minimal pencapresan tersebut kembali dimunculkan dan disahkan dalam UU Pemilu yang baru oleh DPR, maka risiko pembatalan oleh MK pun kembali muncul.

Karena itu menurut Yusril, usaha politik untuk tetap mempertahankan ataupun menghidupkan kembali sistem presidential threshold dalam perevisian UU Pemilu akan sia-sia. “Setiap keinginan untuk kembali menghidupkan presidential threshold setelah adanya putusan MK, bisa-bisa saja disahkan oleh DPR,” kata Yusril.

“Jika pembatasan (presidential threshold) itu kembali muncul, maka MK akan membatalkannya. Kalau ada pihak-pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu,” sambung Yusril.

Sebagai Menko, kata Yusril, dirinya bersama-sama menteri di bawah koordinasinya, dan juga menteri-menteri terkait kepemiluan sedang melakukan konsolidasi untuk membahas tentang perubahan UU Pemilu pascaputusan MK 62/2024 tersebut.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement