REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesudah momen sakral 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia memasuki babak baru. Seluruh putra dan putri Ibu Pertiwi mengerahkan daya dan upaya untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Dalam hukum internasional, terdapat empat syarat keberadaan sebuah negara: adanya rakyat, wilayah, pemerintahan yang berkuasa, dan pengakuan dari negara-negara lain. Tiga yang pertama otomatis terpenuhi dengan dibuktikan Proklamasi RI.
Adapun syarat rekognisi itu terus diupayakan sejak 17 Agustus 1945. Karena itu, pemerintahan presiden Sukarno menggencarkan misi-misi diplomatik.
Adalah sebuah berkah, Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim. Di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, negara-negara Arab berempati terhadap perjuangan RI.
Liga Arab, yang kala itu dipunggawai Mesir, berjasa dalam mengusung topik kemerdekaan RI di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Sekretaris Jenderal Liga Arab 1945-1952 Abdurrahman Azzam Pasya berperan signifikan dalam mengajak negara-negara Arab untuk mendukung perjuangan RI. Tokoh Mesir ini mengimbau mereka agar segera mengakui republik di Asia Tenggara itu sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Sebagai representasi Liga Arab, Azzam Pasya juga mengimbau negara-negara anggota PBB agar mengakui kedaulatan Indonesia. Padahal, menurut Suranta Abdur Rahman dalam artikelnya, "Diplomasi RI di Mesir dan Negara-negara Arab pada Tahun 1947" (2007), problem-problem yang diusung Liga Arab di PBB sesungguhnya sudah begitu berat.
Sebut saja, masalah zionisme yang mencaplok tanah Palestina, krisis Terusan Suez, Sudan, serta kendali Inggris dan Prancis di kawasan Timur Tengah. Akan tetapi, perhatian pada masalah Indonesia tetap dijadikannya prioritas utama.
Berkat upaya itu, sejak Agustus 1946 soal Indonesia masuk dalam agenda sidang Dewan Keamanan PBB di New York, Amerika Serikat (AS). Banyak negara bersuara semisal dari AS, Australia, India, Afghanistan, dan Filipina. Mereka mengecam agresi militer yang dilancarkan Belanda atas RI.
Alhasil, Belanda kian terdesak. Mau tak mau, dialog harus dibuka. Berbagai perundingan antara RI dan Belanda pun dilakukan dengan pengawasan internasional.