Selasa 19 Aug 2025 09:36 WIB

Dekan FK Unsoed Gugat UU Kesehatan ke MK, Ini Poin Penting yang Dipersoalkan

Uji materi sejumlah pasal dalam UU Kesehatan dinilai diperlukan demi kepastian hukum.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Foto: Republika.co.id
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO - Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman (FK Unsoed) Purwokerto M Mukhlis Rudi Prihatno mengajukan uji materi terhadap UU Kesehatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, uji materi sejumlah pasal dalam UU Kesehatan perlu dilakukan demi kepastian hukum dan masa depan pendidikan kedokteran di Indonesia.

Ditemui di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (18/8/2025) malam, akademisi yang akrab disapa Rudi itu mengakui jika dirinya bersama seorang dokter spesialis dan dua mahasiswa kedokteran telah mengajukan permohonan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Baca Juga

"Undang-Undang Kesehatan ini sebenarnya bukan undang-undang yang buruk, undang-undang yang bagus. Tapi untuk khusus pendidikan itu memang berbeda," katanya didampingi anggota tim kuasa hukum pemohon uji materi, Azam Prasojo Kadar.

Ia mengatakan, di Indonesia ada tiga undang-undang yang mengatur pendidikan, yaitu Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, serta UU Pendidikan Tinggi. Bahkan, sebelumnya, kata dia, ada UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang sekarang dicabut dan digantikan UU Kesehatan, sehingga muncul permasalahan.

Menurut dia, sejumlah aksi demonstrasi yang digelar mahasiswa maupun para guru besar dari berbagai perguruan tinggi beberapa waktu lalu merupakan salah satu dampak dari tiadanya UU Pendidikan Kedokteran.

"Sudah 50 tahun pendidikan kedokteran kita itu berjalan dan lancar, ditambah dengan adanya Undang-Undang Pendidikan Kedokteran, kemudian tiba-tiba dicabut. Dan selama ini sudah dibawa ke Kementerian Pendidikan Tinggi itu sudah bagus sebetulnya," katanya menjelaskan.

Akan tetapi, dengan adanya UU Kesehatan, saat ini ada hal yang baru, yaitu masalah hospital-based (berbasis rumah sakit) dan university-based (berbasis perguruan tinggi), terutama untuk pendidikan spesialis.

Menurut Rudi, hal itu harus diluruskan dengan mengembalikan UU Pendidikan Kedokteran, yakni mengembalikan pendidikan kedokteran kepada kementerian yang membidangi pendidikan, sehingga tidak di bawah Kementerian Kesehatan. Ia mengatakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pendidikan Tinggi, yang berhak memberikan gelar akademik adalah perguruan tinggi.

"Namun, dengan adanya skema hospital-based dalam pendidikan dokter spesialis, muncul pertanyaan apakah rumah sakit memiliki kewenangan tersebut," katanya.

Menurut Rudi, rumah sakit sebagai entitas pelayanan kesehatan juga belum tentu mampu memenuhi kewajiban tridharma perguruan tinggi, termasuk pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Selain itu, aspek penjaminan mutu dan kurikulum seharusnya tetap menjadi domain perguruan tinggi.

Rudi mengatakan, penerapan sistem hospital-based juga berpotensi menimbulkan masalah kuota pendidikan karena rumah sakit kerap berbagi dengan beberapa universitas. Ia mencontohkan, kondisi di Jakarta dan Bandung, saat rumah sakit yang sama digunakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran.

"Faktanya, kuota mahasiswa justru berkurang dari universitas dan dialihkan ke hospital-based. Padahal, jika tujuannya menambah tenaga dokter spesialis, semestinya jumlahnya bertambah, bukan bergeser," katanya.

Ia juga menyoroti lemahnya landasan hukum penyelenggaraan pendidikan dokter dalam Undang-Undang Kesehatan karena tidak merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur satu sistem pendidikan nasional.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement