REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tersangka eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum HAM), Edward (eddy) Hiariej, membantah tuduhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perihal dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 7 miliar. Menurut Eddy, uang tersebut merupakan komitmen fee atas jasa konsultasi hukum yang diterima oleh tersangka Yosi Andika Mulyadi yang merupakan seorang pengacara.
Uang tersebut dikatakan Eddy, atas pemberian dari PT Citra Lampia Mandiri (CLM) dan PT Asia Pacific Mining Resources (APMR). Hal tersebut disampaikan Eddy, melalui memori permohonan praperadilan yang diajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Praperadilan ajuan Eddy, mulai sidang perdana Senin (18/12/2023) dengan agenda pembacaan permohonan. Ada sembilan permohonan yang diajukan Eddy, bersama dua tersangka lain, yakni Yosi, dan Yogi Arie Rukaman selaku asisten pribadi Eddy saat menjabat Wamenkum HAM.
Paling utama, yaitu meminta hakim praperadilan memerintahkan KPK agar membatalkan status tersangka. Dan lainnya meminta KPK menghentikan penyidikan yang menyeret Eddy, beserta Yosi, dan Yogi sebagai tersangka.
Dalam halaman 15 permohonan praperadilan tersebut, tim pengacara Eddy pada angka ke-22 dan ke-23 menguaraikan perihal inti perkara yang menyeret guru besar hukum pidana itu menjadi tersangka korupsi penerimaan suap, dan gratifikasi. Disebutkan, bahwa kasus tersebut berdasarkan atas pelaporan Indonesia Police Watch (IPW) pada 14 Maret 2023 kepada KPK.
“Bahwa kasus dugaan gratifikasi atau suap yang dilaporkan oleh IPW kepada termohon (KPK) adalah terkait adanya aliran dana sebesar Rp 7 miliar, dari klien pemohon tiga (Yosi) yang menurut termohon patut diduga merupakan gratifikasi atau suap untuk diberikan kepada pemohon satu (Eddy),” kata pengacara Eddy, Muhammad Lutfie, saat sidang praperadilan di PN Jaksel, Senin (18/12/2023).
Namun dijelaskan dalam memori praperadilan itu, bahwa sebetulnya aliran dana tersebut adalah merupakan komitmen fee atas jasa konsultasi hukum yang diterima Yosi selaku pengacara dari PT CLM dan PT APRM. “Pada faktanya aliran dana yang diduga oleh termohon merupakan gratifikasi atau suap kepada pemohon satu (Eddy) adalah merupakan lawyer fee dari klien pemohon tiga (PT CLM dan PT APRM) kepada pemohon tiga (Yosi),” kata Lutfie.
Hal tersebut, kata Eddy, melalui tim hukumnya dapat dibuktikan dengan adanya surat-surat penyerahan kuasa dan jasa konsultasi hukum antara Yosi, dan dua perusahaan tersebut. “Bahwa klien pemohon tiga (PT CLM dan PT APRM) telah menunjuk pemohon tiga (Yosi) untuk menjadi kuasa hukum atau penasihat hukum dalam menangani permasalahan yang sedang dialami oleh PT CLM dan PT APMR,” kata Lutfie.