REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan dugaan pelanggaran pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan wacana penggunaan hak angket DPR pascaputusan MK terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo Subianto dinilai ada pihak yang menunggangi.
Pakar hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Agus Riewanto mengatakan, berbagai cara dilakukan pihak tertentu agar Gibran tidak menjadi cawapres. Caranya dengan melaporkan komisoner KPU ke DKPP maupun pengajuan hak angket DPR.
"Menurut saya ini usaha para pihak yang mencari pintu untuk menggolkan keinginan, agar salah satu pasangannya tidak memenuhi syarat, sehingga tidak bisa menjadi salah satu capres/cawapres. Pintunya ada banyak kan (untuk mencari kesalahan), salah satunya ya DKPP. Mungkin bisa juga ke bawaslu, pengadilan, MA, dan lain-lain," kata Agus ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (25/11/2023).
Menurut dia, KPU tidak bisa disalahkan dalam penetapan Gibran sebagai cawapres Prabowo. KPU merupakan sebuah lembaga negara yang tunduk undang-undang yang berlaku. Pada penetapan Gibran sebagai cawapres Prabowo tidak ada yang salah, karena pada penetapan Gibran di KPU sudah seusia dengan koridor yang berlaku dalam hal ini PKPU pascaputusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Menurut saya gini, KPU itu pelaksana peraturan perundang-undangan, penyelenggara pemilu dan tidak dalam ranah pembuat peraturan. PKPU yang dibuat KPU itu merespons dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuat norma baru, yakni boleh kurang dari 40 tahun sepanjang dia pernah menduduki jabatan politik yang dipilih secara election menjadi kepala daerah," kata Agus.
Dia menjelaskan, KPU harus mengikuti putusan MK terkait norma baru yang sudah final. Sehingga, KPU menggunakan PKPU baru pascaputusan MK dalam penetapan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
"Pertanyaannya kalau itu bagian dari tugas KPU, KPU ya gak salah membuat norma itu karena memang putusan MK itu final and binding. Oleh karena itu, penyelenggara negara dalam hal ini KPU harus mengikuti keputusan MK tersebut, mengubah PKPU lama," jelas Agus.
"Intinya UU Pemilu pasal 169 huruf q diubah oleh MK, berarti pasal itu tidak berlaku lagi. Ada norma baru. Di sini, KPU tidak menciptakan norma, tapi menulis norma yang telah dibuat oleh MK," kata Agus menambahkan.
Namun, Agus tidak menampik kemungkinan ada permasalahan etik dan konflik kepentingan dalam putusan MK dan dibenarkan oleh putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang dipimpin Jimly Asshiddiqie. Kendati demikian, sambung dia, MKMK tidakk pernah membatalkan hasil putusan MK terkait usia capres dan cawapres.
"Tapi kan MKMK tidak mengoreksi terkait h putusan MK (nomor 90/PUU-XXI/2023), tetap dinyatakan sah. tidak bisa dibatalkan oleh lembaga apapun, bersifat res judicata (putusan hakim harus dianggap benar), tidak ada koreksinya, dan cuma bisa dikoreksi oleh ketua MK sendiri," kata Agus.