REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei yang menunjukkan bahwa mayoritas publik menyatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) memiliki kewenangan menyelidiki, menyidik, dan menuntut kasus tindak pidana korupsi. Responden yang menyatakan hal tersebut sebesar 66,4 persen.
"17,7 persen (yang menyatakan) Kejaksaan hanya memiliki kewenangan menuntut tindak pidana korupsi," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi lewat rilis daringnya, Ahad (2/7/2023).
Indikator Politik Indonesia melakukan survei pada 20 sampai 24 Juni 2023. Penarikan sampel menggunakan metode multistage random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 1.220 responden.
Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 1.220 responden memiliki toleransi kesalahan atau margin of error sekira 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Dalam forum yang sama, anggota Komisi III DPR, Habiburokhman, menyatakan ketidaksetujuan terhadap judicial review (JR) terkait kewenangan Kejagung dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Diketahui, gugatan tersebut dilayangkan seorang advokat bernama Yasin Djamaludin yang meminta kewenangan kejaksaan untuk menyelidiki dan menyidik kasus korupsi dihapus.
"Nah, ketika ada uji materi di MK, soal adanya masyarakat yang meminta kewenangan kejaksaan di perkara tipikor dihentikan, menurut saya sangat tidak pas," ujar Habiburokhman.
Saat ini, terdapat tiga lembaga yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi. Ketiganya adalah kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejagung.
"Dengan tiga lembaga yang ada saat ini berwenang melakukan penyidikan tipikor, mulai dari kepolisian, KPK, dan kejaksaan tercipta kompetisi yang sehat," ujar Habiburokhman.
Kejagung dinilainya telah sangat baik melaksanakan kewenangan tersebut. Di samping itu, menurutnya tidak mungkin jika kewenangan penyelidikan dan penyidikan kasus tindak pidana korupsi dilakukan oleh satu lembaga saja.
"Terus banyak hal-hal baru ini, kalau Kejaksaan tidak pernah menyentuh menteri, sekarang bisa menyentuh level menteri, terlepas ini ada muatan politik atau tidak. Menurut saya ini adalah satu kemajuan bagi kejaksaan dan wajar juga surveinya cukup tinggi," ujar Habiburokhman.