Rabu 19 Nov 2025 06:27 WIB

Komnas PA Minta Polisi Selidiki Dugaan Kelalaian Pihak SMPN 19 Tangsel

Siswa berinisal MH meninggal dunia diduga usai alami perundungan.

Bullying (ilustrasi)
Foto: Republika
Bullying (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANTEN -- Komnas Perlindungan Anak Provinsi Banten menyoroti terdapat dugaan kelalaian sistemik dari SMPN 19 Tangerang Selatan dalam kasus dugaan perundungan yang menyebabkan seorang siswa berinisial MH meninggal dunia. Ketua Komnas PA Provinsi Banten Hendry Gunawan di Kota Serang, Selasa (18/11/2025) menegaskan bahwa temuan tersebut merujuk langsung pada mandat perlindungan anak dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014.

Ia menyebut Pasal 54 Ayat (1) dan (2) UU Perlindungan Anak mengatur kewajiban satuan pendidikan memberi perlindungan penuh dari kekerasan fisik, psikis, dan kejahatan lainnya.

Baca Juga

“Faktanya kekerasan terhadap MH, berdasarkan informasi keluarga dan pengakuan korban semasa hidup, telah terjadi berulang sejak masa MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Ini menunjukkan sekolah gagal menciptakan lingkungan yang aman dan gagal mendeteksi atau menindaklanjuti gejala awal perundungan,” kata Hendry.

Menurutnya, pelanggaran hak MH berlangsung secara sistematis sebagaimana diatur Pasal 9 Ayat (1a) UU yang sama, yang menegaskan setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kekerasan antar peserta didik. Ia menilai sekolah mengetahui atau seharusnya mengetahui pola kekerasan tersebut namun tidak melakukan intervensi efektif.

“Kelalaian bukan hanya pada insiden terakhir, tetapi kegagalan membangun sistem pencegahan, deteksi dini, dan penanganan yang memadai,” ujarnya.

Atas dugaan kelalaian itu, Komnas Perlindungan Anak Banten mendorong agar aspek tanggung jawab pihak sekolah turut diselidiki secara hukum. Menurut Hendry, langkah tersebut penting untuk memastikan akuntabilitas dan perubahan kebijakan perlindungan anak di sekolah.

Terkait penanganan terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum (ABH), Hendry menegaskan bahwa meski pelaku adalah anak, hak-haknya tetap harus dilindungi. Namun proses hukum wajib berjalan sesuai UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

“Polisi wajib mengupayakan diversi sebagai penyelesaian di luar pengadilan yang melibatkan korban, pelaku, pendamping, dan keluarga. Tujuannya pemulihan, bukan pembalasan,” katanya.

Hendry menambahkan bahwa diversi dalam kasus yang berakibat fatal sangat sulit dicapai. Jika musyawarah gagal, perkara akan berlanjut ke persidangan.

Ia menyebut sanksi yang dapat dijatuhkan meliputi pembinaan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), pekerjaan sosial, dan pendampingan psikologis intensif.

“Prinsipnya, proses hukum harus berfokus pada pemulihan dan pencegahan agar tindakan serupa tidak terulang,” ucapnya.

Komnas Perlindungan Anak Banten juga menyoroti lemahnya implementasi regulasi perlindungan anak di sekolah, terutama terkait peran Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).

Hendry menegaskan perlunya SOP Anti-Perundungan yang wajib dimiliki setiap sekolah dan disosialisasikan secara menyeluruh kepada warga sekolah.

Ia mendorong agar TPPK difungsikan secara aktif oleh guru, konselor, dan perwakilan siswa untuk mendeteksi dan menangani potensi kekerasan. Selain itu, ia menekankan perlunya sanksi administratif tegas bagi sekolah yang lalai menangani laporan kekerasan.

“Pelatihan berkala bagi guru dan staf sangat penting untuk memperkuat kemampuan identifikasi dini dan mediasi konflik,” katanya.

Komnas Perlindungan Anak Banten juga meminta penguatan koordinasi lintas instansi melalui Satgas PPA. Hendry menilai SOP terpadu antara Dinas Pendidikan, DP3A, Dinas Sosial, dan Kepolisian harus memastikan korban langsung mendapat pendampingan, sementara pelaku ditangani sesuai ketentuan UU SPPA.

“SOP ini harus menjamin kecepatan koordinasi dan perlindungan menyeluruh, karena insiden seperti ini adalah kegagalan sistem, bukan kegagalan individu semata,” ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement