REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masyarakat mengapresiasi Kejaksaan Agung (Kejagung) yang selalu mengedepankan pengembalian kerugian negara atas perkara korupsi yang ditanganinya. Apresiasi ini diwujudkan dalam bentuk kepercayaan yang tinggi terhadap Kejagung.
Hal ini disampaikan pakar pidana, Hibnu Nugroho, menanggapi hasil survei nasional Polling Institute, yang menempatkan Kejagung sebagai lembaga hukum paling dipercaya publik. Sebanyak 70 persen responden menyatakan percaya kepada Kejagung, Mahkamah Konstitusi (68 persen), dan pengadilan (66 persen), Komisi Pemberantasan Korupsi (64 persen), dan kepolisian (61 persen).
Hibnu mengatakan, paradigma baru Kejagung dalam penegakan hukum dalam perkara korupsi adalah pengembalian kerugian negara. Karena itu Kejagung bisa memilah dan memilih tindak pidana yang benar-benar bersentuhan langsung dengan masyarakat. Dalam kontek ini adalah perkara-perkara yang memiliki kerugian negara besar, seperti kasus tambang, kejahatan korporasi.
“Seperti kemarin itu, kejahatan korporasi yang sampai dibuat panggung duit (bukti uang korupsi yang ditunjukan ke publik sangat banyak, Red). Ini juga Kejagung menunjukan ke masyarakat kalau ini lho uang yang hilang bisa dikembalikan,” kata Hibnu, saat menjadi penanggap dalam pemaparan hasil survei Polling Institute, Sabtu (23/8/2025).
Begitu juga dengan kasus minyak goreng dan kasus Sritex. Dikatakannya, dalam kasus Sritex yang disebut pailit, ternyata diduga ada ‘sesuatu’ yang diduga berkaitan dengan korupsi. “Bahkan direkturnya kemarin bergandengan dengan Wamen Kemenaker (Immanuel Ebenezer, Red) sekarang juga bermasalah,” paparnya.
Dalam konteks regulasi, menurut Hibnu, sebagai lembaga negara, Kejagung mampu membuat badan yang bisa mengelola aset. “Jika dulu saat dikelola Bapas (sebelum dikelola Kejagung) aset yang disita, misalnya nilainya sepuluh tinggal lima saat putusan kasus,” ujar Hibnu.
Terkait dengan survei yang menempatkan Kejagung sebagai lembaga paling dipercaya publik, menurut Hibnu, hal-hal itulah yang menjadi penyebabnya. Ditambah lagi, Kejagung berani memproses hukum tokoh-tokoh dan elit tertentu yang melakukan kejahatan (korupsi),” kata dosen pengajar Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto ini.
Walaupun UU Perampasan Aset belum juga disetujui pemerintah dan DPR, namun paradigma baru penegakan hukum dalam kasus korupsi sudah mengarah ke pengembalian kerugian negara akibat korupsi. “Karena UU Perampasan Aset belum juga disetujui, maka langkah optimalisasi yang bisa dilakukan adalah bagaimana aset terkait korupsi bisa cepat diambil dan disita untuk dikembalikan pada negara,” papar Hibnu.