REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) meminta bantuan hukum dari Kejaksaan Agung (Kejakgung). Pertolongan hukum tersebut dimintakan Ketua BPOM, Penny Lukito sebagai respons gugatan ajuan sejumlah pihak terkait kasus 194 kematian akibat gagal ginjal akut pada anak-anak.
Kasus kematian tersebut diduga akibat konsumsi obat-obatan sirop yang tercemar kadar berlebih kandungan Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) pada produk farmasi swasta. Dalam kasus tersebut, BPOM sebagai lembaga pengawas produksi dan peredaran obat-obatan dinilai lalai dalam tugasnya.
Karena itu sejumlah kalangan yang mengatasnamakan Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) menggugat BPOM ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Atas gugatan tersebut BPOM meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin mengirimkan tim dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) memberikan pendampingan hukum.
“Tadi kami sudah membicarakan hal itu. Dan nanti tentunya dari Jamdatun akan membantu pendampingan BPOM untuk menghadapi masalah ini,” kata Penny saat ditemui di Kejakgung, Jakarta, Rabu (16/11/2022).
Penny menerangkan, kasus kematian gagal ginjal akut pada anak adalah persoalan pidana yang berasal dari kelalaian para industri farmasi. BPOM tak dapat disalahkan karena sudah melakukan fungsi dan peran sebagai lembaga pengawas obat-obatan.
“Jadi, Badan POM (BPOM) sudah melakukan tugas dengan standar dan ketentuan yang ada. Tetapi ini adalah masalah kelalaian di industri farmasi, dan tentunya kelalaian ini menimbulkan satu kondisi yang sangat menyedihkan, karena menyangkut nyawa manusia. Jadi ini adalah suatu kejahatan, yang tentunya ini juga menjadi tugas Kejaksaan Agung untuk melakukan proses hukum,” ujar Penny.
Selain meminta perbantuan hukum atas proses gugatan tersebut, BPOM juga meminta dukungan untuk penguatan peran dan fungsi, serta kewenangan BPOM. Terutama terkait dengan pengawasan terhadap obat-obatan.
Penny tak menerangkan kekurangan kewenangan BPOM selama ini dalam hal pengawasan obat-obatan. Akan tetapi, perlu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk BPOM dapat melakukan pengawasan produksi dan peredaran obat-obatan serta makanan yang beredar di masyarakat.
“BPOM butuh penguatan secara kelembagaannya sebagai otoritas pengawas obat dan makanan yang kami harapkan segera berproses kembali,” terang Penny.
Di luar perkara TUN, dalam kasus ini, proses pemidanaan terhadap para produsen farmasi mengalami stagnasi. Belum ada pihak ataupun perorangan yang bertanggung jawab secara hukum atas produksi dan sebaran obat sirop tercemar yang menyebabkan kematian 194 anak tersebut.
Padahal, BPOM mengendalikan proses penyidikan terhadap dua perusahaan farmasi yang diduga memproduksi dan memasarkan obat sirop tercemar itu. Dua perusahaan tersebut yakni PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical Industries.
Sementara tim penyidik gabungan di Bareskrim Mabes Polri juga mengendalikan satu penyidikan terhadap PT Afi Farma. Ketua Tim Penyidik Gabungan Bareskrim Brigjen Pipit Rismanto pada Senin (14/11/2022) menjanjikan tersangka dari hasil gelar perkara pada Rabu (16/11/2022). Namun sampai hari ini, belum ada pengumuman yang dijanjikan.
“Untuk gelar perkara dilakukan sejak tadi siang (16/11/2022). Nanti hasilnya kami laporkan dulu ke pimpinan untuk diumumkan,” kata Pipit saat dikonfirmasi, Rabu petang.