REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Hakim menyatakan menolak seluruh eksepsi yang diajukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), BPOM, dan PT Afifarma. Majelis hakim juga memutuskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) berwenang mengadili perkara tersebut.
Hal itu disampaikan Majelis hakim dalam sidang lanjutan Class Action terhadap tragedi Gagal Ginjal Akut pada Anak (GGAPA). Dengan begitu, perkara Nomor 771/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst ini sudah melewati tahapan putusan sela terhadap kewenangan mengadili perkara oleh PN Jakpus.
"Memerintahkan para pihak untuk melanjutkan proses persidangan," kata hakim dalam sidang di PN Jakpus pada Senin (2/10/2023).
Sebelumnya, Majelis Hakim pemeriksa perkara telah menetapkan para pihak yang dibagi menjadi tiga kelompok kelas memiliki legal standing untuk melakukan gugatan.
Perwakilan kuasa hukum korban, Siti Habibah mengapresiasi putusan sela itu. Ia menilai putusan sela tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan juga memenuhi rasa keadilan bagi para korban GGAPA yang hingga saat ini masih berupaya untuk mencari keadilan.
"Putusan sela ini sangat berarti bagi para korban GGAPA yang sedang memperjuangkan keadilan secara khusus dan bagi masyarakat pada umumnya untuk mencegah terjadinya keberulangan atas tragedi yang sama dikemudian hari," ujar Habibah.
Habibah menilai selama proses persidangan Kemenkes, BPOM, dan PT Afifarma selalu berupaya untuk melepaskan tanggungjawab. Hal ini tampak jelas mulai dari upaya perlawanan terhadap legal standing para penggugat hingga dengan menyatakan bahwa PN Jakpus tidak berwenang untuk mengadili perkara.
Habibah mensinyalir adanya tindakan berbelit-belit yang dilakukan oleh Kemenkes, BPOM, dan PT Afifarma. Diduga tujuannya untuk mematahkan semangat para korban pencari keadilan dan juga mengubur ingatan publik terhadap tragedi GGAPA yang menelan banyak korban.
"Kami juga menilai upaya mengulur-ulur proses pencarian keadilan tersebut merupakan tindakan melawan rakyat sendiri yang dilakukan oleh Kemenkes dan BPOM, padahal seharusnya dalam kondisi seperti ini Kemenkes dan BPOM memastikan dan menjamin perlindungan bagi warga negara," ujar Habibah.
Oleh karena itu, Habibah mengimbau kepada Kemenkes, BPOM, serta PT Afifarma untuk segera mengakui kesalahan, meminta maaf dan bertanggung jawab terhadap para korban tragedi GGAPA. "Demi moralitas, jangan menunggu putusan akhir dijatuhkan," ujar Habibah.
Berdasarkan data Kemenkes pada 26 September 2023, tercatat jumlah korban GGAPA keseluruhan mencapai 326 anak, baik yang telah dapat disembuhkan maupun yang telah meninggal dunia. Korban GGAPA ini tersebar di 27 Provinsi dengan kasus tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta.
Menurut hasil pemeriksaan yang dilakukan, penyebab kasus GGAPA diduga karena mengalami keracunan senyawa EG atau etilen glikol dan DEG atau dietilen glikol yang biasa dipakai sebagai pelarut dalam obat cair atau sirup.
Pemerintah menjanjikan pemberian bantuan kepada korban dan keluarga korban. Tapi pihak kuasa hukum menegaskan belum ada bantuan apapun yang diberikan.