Kamis 30 Sep 2021 14:36 WIB

KPK Periksa Ketua DPRD Hulu Sungai Utara

KPK periksa Ketua DPRD Hulu Sungai Utara sebagai saksi untuk tersangka MRH

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Bayu Hermawan
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Ketua DPRD Hulu Sungai Utara di Kalimantan Selatan (Kalsel) Almien Ashar Safari. Dia diperiksa terkait dugaan korupsi yang dilakukan dilingkungan pemerintah kabupaten (pemkab) Sungai Hulu Utara yang telah menjerat Plt Kadis PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara, Maliki (MK).

"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka MRH (Marhaini)," kata Plt Juru Bicara KPK bidang Penindakan, Ali Fikri di Jakarta, Kamis (30/9).

Baca Juga

Selain Almien, penyidik lembaga antirasuah itu juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPKB) kabupaten Hulu Sungai Utara, Anisah Rasyidah. Dia juga diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi untuk tersangka Maliki.

Meski demikian, belum diketahui materi penyidikan yang akan dilakukan KPK terhadap kedua saksi tersebut. Namun, Ali menjelaskan bahwa pemeriksaan terhadap saksi dilakukan guna membuat terangnya suatu peristiwa korupsi.

Perkara rasuah itu bermula saat Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara melelang 2 proyek irigasi yaitu Rehabilitasi Jaringan Irigasi Rawa (DIR) Kayakah, Amuntai Selatan dengan harga perkiraan sendiri (HPS) Rp 1,9 miliar. Proyek lainnya yakni rehabilitasi DIR Bajang di Desa Karias Dalam, Banjang dengan HPS Rp 1,5 miliar.

Sebelum lelang ditayangkan di LPSE, MK diduga telah lebih dulu memberikan persyaratan lelang pada MRH dan FH sebagai calon pemenang kedua proyek irigasi dimaksud. Dia sepakat memberikan sejumlah uang komitmen fee 15 persen.

CV Hanamas milik tersangka MRH kemudian ditetapkan sebagai pemenang lelang proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah dengan nilai kontrak Rp 1.9 miliar. Sedangkan proyek rehabilitasi DIR Banjang dimenangkan oleh CV Kalpataru milik tersangka FH dengan nilai kontrak Rp 1,9 miliar.

Setelah semua administrasi kontrak pekerjaan selesai lalu diterbitkan Surat Perintah Membayar pencairan uang muka yang tindaklanjuti oleh BPKAD dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana/SP2D untuk pencairan uang CV Hanamas dan CV Kalpataru yang dilakukan oleh MJ sebagai orang kepercayaan dari MRH dan FH.

Sebagian pencairan uang tersebut, selanjutnya diduga diberikan kepada MK yang diserahkan oleh MJ sejumlah Rp 170 juta dan Rp 175 juta dalam bentuk tunai.

Atas perbuatan tersebut, tersangka MRH dan FH selaku pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 KUHP.

Sedangkan tersangka MK selaku penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal Pasal 64 KUHP Jo Pasa 65 KUHP.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement