Rabu 16 Dec 2020 22:07 WIB

Pinangki Ingin Eksekusi Djoko Tjandra, tapi tak Lapor Atasan

Hakim mempertanyakan alasan Pinangki tidak lapor ke atasan jika ingin mengeksekusi.

Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra Pinangki Sirna Malasari
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra Pinangki Sirna Malasari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengklaim ingin Djoko Tjandra untuk dieksekusi ke Indonesia. Namun, Pinangki juga mengaku, ia tidak melapor ke atasan saat bertemu dengan terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali tersebut.

"Saya tertarik ingin ketemu dia (Djoko Tjandra, Red) karena kalau dia dieksekusi kan bagus untuk kita," kata Pinangki, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (16/12).

Baca Juga

Pinangki bersaksi untuk temannya Andi Irfan Jaya yang didakwa membantu Djoko Tjandra menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,28 miliar), sekaligus melakukan permufakatan jahat untuk memberikan uang kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung sebesar 10 juta dolar AS (sekitar Rp145,6 miliar). Pinangki pertama bertemu dengan Djoko Tjandra pada 12 November 2020 di kantor Djoko di The Exchange 106, Kuala Lumpur, bersama dengan seseorang bernama Rahmat.

Djoko Tjandra adalah terpidana yang berdasarkan putusan PK Nomor 12 tanggal 1 Juni 2009. Namun, Djoko Tjandra keluar dari Indonesia beberapa hari sebelum putusan PK itu diputus, sehingga ia tidak bisa dieksekusi.

"Tapi saya tidak lapor ke kantor, karena rencananya yang melaporkan itu Bu Anita," ujar Pinangki.

"Tapi, katanya tertarik supaya Djoko Tjandra bisa dieksekusi," ujar ketua majelis hakim Ignasius Eko Purwanto.

"Karena rencananya Djoko Tjandra ditahan lebih dahulu, itu rencana yang saya buat dengan Bu Anita dan Andi Irfan, tapi urusan setelahnya itu urusan lawyer dan itu sudah tegas dibicarakan saat makan malam di Hotel Mahakam," jawab Pinangki.

"Jadi, memang tidak melaporkan kejadian 12 November itu ya?" tanya hakim Eko.

"Iya," jawab Pinangki.

Saat bertemu pada 12 November 2019 tersebut, Djoko Tjandra memberikan kartu nama bertuliskan "Jo Chan". "Tulisan kartu namanya Jochan, dia seperti ingin meyakinkan saya 'it's save' untuk saya 'to be there'. Dia memperlihatkan rilis 'queen of council' bahwa dia sudah dicabut 'red notice-nya' jadi dia adalah 'legal entity' yang berbeda dengan yang di Indonesia karena tidak bisa diekstradisi sebab dia warga negara Papua Nugini," kata Pinangki.

"Queen council lawyer's" adalah pengacara yang merupakan penasihat senior di Inggris dalam kasus pengadilan dalam kasus penting setiap sisi biasanya dipimpin oleh satu pihak. Pinangki mengungkapkan hasil pertemuan 12 November adalah Pinangki mengajukan nama Anita Kolopaking sebagai calon pengacara bagi Djoko Tjandra.

"Saya sampaikan kalau saya ada kenal 'lawyer' namanya Anita Kolopaking dan Anita juga 'direfer' sama Seno Adji, Pak Djoko bilang 'saya tahu Seno Adji', tapi Pak Djoko tidak langsung setuju dan masih 'open mind'," ujar Pinangki lagi.

"Intinya Djoko Tjandra berniat pulang?" tanya hakim Eko.

"Dia netral, kita diskusi panjang dan dia terhadap Anita juga masih 'open mind' antara ya dan tidak. Kemudian kami pulang setengah lima sore karena saya harus pulang ke Singapura dia sempat menawarkan naik 'private jet' miliknya, tapi saya tidak mau," kata Pinangki.

Menurut Pinangki, pada 11-15 November 2019, ia memang berada di Singapura untuk mengantar ayahnya berobat di NUS. Karena itu, ia meminta Rahmat mencari jadwal bertemu dengan Djoko Tjandra di sela-sela tanggal tersebut dan ditemukan 12 November 2019.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement