REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono membantah pernyataan Mabes Polri tentang dakwaan tim penuntutan terhadap Irjen Napoleon Bonaparte yang tak konsisten mengacu Berkas Acara Pemeriksaan (BAP). Ali menegaskan, JPU tak mungkin menambah isi dakwaan, yang menyimpang dari berkas pemeriksaan.
“Enggak mungkin. Pasti ada (dalam berkas perkara). Jaksa tahu dari mana (kalau tidak berdasarkan berkas perkara). Emang dukun dia (JPU-nya),” kata Ali saat ditemui di Gedung Pidana Khusus (Pidsus), Kejaksaan Agung (Kejakgung), Jakarta, pada Selasa (3/11).
Pernyataan Ali tersebut, menjawab pernyataan Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Awi Setiyono terkait isi dakwaan JPU terhadap Napoleon. Dalam dakwaan JPU yang dibacakan terbuka di PN Tipikor, Senin (2/11), JPU menyebutkan adanya permintaan uang dari Napoleon kepada terdakwa lainnya, yakni Tommy Sumardi senilai Rp 7 miliar. Uang tersebut, agar Napoleon menghapus status red notice Djoko Tjandra dari daftar buronan interpol.
Permintaan Napoleon tersebut, setelah mantan Kadiv Hubinter tersebut, menolak pemberian Tommy senilai 100 ribu dolar AS (Rp 1,5 miliar). Dalam dakwaan JPU, pun disebutkan, permintaan Rp 7 miliar tersebut, karena Napoleon, akan membagi-bagi uang tersebut, kepada sejumlah petinggi di Mabes Polri. “Soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau, petinggi kita ini,” begitu kata Napoleon, seperti dalam dakwaan JPU.
Namun, Karo Penmas Awi menyampaikan, pernyataan Napoleon dalam dakwaan tersebut, tak ada dalam BAP. Terutama, kata Awi, terkait dengan kalimat ‘petinggi kita’.
“Penyidik infonya, itu (pengakuan Napoleon), tidak ada dalam BAP,” kata Awi, Selasa (3/11).
Perkara Napoleon, penyidikannya memang di tangan Bareskrim Polri. Namun, kejaksaan, adalah satu-satunya otoritas hukum yang bertanggung jawab membuat dakwaan, dan melakukan penuntutan.
“Jadi yang bersangkutan (terdakwa Irjen Napoleon), enggak mengaku dari awal. Kalau sudah itu (menyebutkan petinggi kita), kan berarti mengaku. Begitu loh,” terang Awi.
Yang pasti, Awi menegaskan, Napoleon, dalam BAP di penyidikan Bareskrim, tak pernah mengungkapkan tentang keterlibatan petinggi-petinggi di kepolisian seperti yang dibacakan dalam dakwaan versi JPU. “Penyidik ngomongnya begitu (tidak ada dalam BAP). Mau maksa saya?, itu kan kata penyidik (tidak ada dalam BAP),” sambung Awi.
Namun, Ali melanjutkan, pengakuan tersangka, yang tak mengakui perbuatannya tak bisa menjadi acuan dalam proses penyidikan, pun pemberkasan perkara. Bahkan, kata Ali, pengakuan tersangka yang tak mau mengaku, harus dikesampingkan dengan memberikan beban pembuktian lebih lengkap bagi tim penyidikan.
Terkait itu, kata Ali, dalam kasus Napoleon, hasil penyidikan dari Bareskrim Polri yang dilimpahkan ke JPU, memastikan adanya bukti-bukti, dan pernyataan-pernyataan yang dimuat ke dalam dakwaan.
“Kalau enggak ada dalam berkas perkara, masa jaksa ngarang. Ya enggak mungkin. Surat dakwaan itu berdasarkan dari berkas perkara yang sah,” terang Ali.
Berkas perkara yang Ali maksud dalam kasus Napoleon, tentunya berasal dari berkas hasil penyidikan di Bareskrim Polri. “Jadi enggak mungkin enggak ada (pengakuan Napoleon). Pasti ada. Karena surat dakwaan itu, berasal dari berkas perkara,” terang Ali menambahkan.