Rabu 29 Jun 2016 14:39 WIB

Ini Peran Sekretaris MA dalam Suap Panitera PN Jakarta Pusat

Rep: Dadang Kurnia/ Red: Bilal Ramadhan
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (kanan) berjalan menuju kendaraannya usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/6). (Republika/Raisan Al Farisi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi (kanan) berjalan menuju kendaraannya usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (15/6). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegawai PT Artha Pratama Anugrah, yang merupakan anak perusahaan dari Lippo Group, Doddy Aryanto Supeno didakwa memberi uang sebesar Rp 150 juta kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.

Suap yang diberikan Doddy dimaksudkan agar Eddy mengusahakan penundaan proses pelaksanaan Aanmaning terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana, yang juga anak perusahaan Lippo Group.

Suap itu juga dimaksudkan agar Edy mengupayakan menerima pendaftaran Peninjauan Kembali PT Across Asia Limited (PT AAL) meskipun telah Iewat batas waktu yang ditentukan.

"Peninjauan Kembali Perkara Niaga PT Across Asia Limited melawan PT First Media," kata Fitroh Rohcahyanto di Gedung Tipikor Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar, Kemayoran, Rabu (29/6).

Jaksa menerangkan, bahwa berdasarkan Putusan Kasasl Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pallit/2013, tanggal 31 Juli 2013, PT AAL dinyatakan pailit. Setelah keluarnya putusan tersebut, sampai batas waktu, yakni 180 hari, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali.

Namun untuk menjaga kredibilitas PT AAL yang sedang ada perkara di Hongkong, Komisaris PT Artha Pratama Anugrah (sama-sama Lippo Group), Eddy Sindoro, pada pertengahan bulan Februari 2016 memerintahkan Wresti Kristian Hesti mengupayakan pengajuan Peninjauan Kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Menindaklanjuti perintah tersebut, pada 16 Februari 2016 Wresti menemui Panitera PN Jakpus, Edy Nasution. Pada pertemuan tersebut, Wresti meminta agar Edy Nasution menerima pendaftaran PK PT AAL meskipun waktu pendaftarannya sudah lewat.

"Atas permintaan dimaksud Edy Nasution tidak bersedia dengan alasan waktu pengajuan PK sudah lewat. Sehingga Wresti menawarkan akan memberikan sejumlah uang sebagai imbalannya, jika dan hal tersebut disetujui oleh Edy Nasution," ucap Jaksa.

Pada tanggal 2 Maret 2016, PT AAL mendaftarkan permohonan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diterima oleh Edy Nasution. Pendaftaran tersebut dapar diproses dengan mengirimkan pemberitahuan pendaftaran PK kepada pihak termohon.

Kemudian, pada tanggal 30 Maret 2016 berkas PK perkara niaga PT AAL dikirim ke Mahkamah Agung RI. Sebelum berkas perkara masuk ke MA, Edy Nasution, lanjut jaksa, pernah dihubungi oleh Sekretaris MA, Nurhadi.

"Sebelum berkas perkara dikirimkan, Edy Nasution dihubungi oleh Nurhadi, sekretaris Mahkamah Agung RI yang meminta agar berkas perkara niaga PT AAL segara dikirlm ke MA," ucap Jaksa.

Pada tanggal 18 April 2016, terdakwa Doddy Aryanto menerima uang Rp 50 juta dari Wawan Sulistiawan, untuk diserahkan ke Edy Nasution. Pada hari yang sama, Doddy menghubungi Edy Nasution untuk menyerahkan uang.

"Namun Edy Nasution berhalangan, Ialu disepakati penyerahan uang dilakukan pada hari Rabu tanggal 20 April 2016 pukul 10.00 wib di Hotel Acacia, Senen, Kota Jakarta Pusat," ungkap Jaksa.

Perbuatan terdakwa, lanjut jaksa, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20/2001 juncto pasal 65 ayat (1) juncto pasal SS ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement