Ahad 27 Mar 2016 22:15 WIB

'Pemerintah Harus Komunikasikan Nilai Positif Reklamasi'

Ekonom Indef Enny Sri Hartati dan Antropolog UI Nurmala Kartini Sjahrir.
Foto: qycomm
Ekonom Indef Enny Sri Hartati dan Antropolog UI Nurmala Kartini Sjahrir.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini proses pembuatan daratan baru dari dasar laut maupun dasar sungai yang biasa disebut reklamasi di Indonesia terus menjadi kontroversi antara pihak yang pro dan kontra.  Sejumlah aksi penolakan maupun dukungan akan pembangunan reklamasi terus berkumandang di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti yang terjadi di Teluk Palu di Sulawesi Utara, sekitar pantai Losari di Makassar, Sulawesi Selatan, Pantai Utara Jakarta serta Teluk Benoa di Bali. 

Masih alotnya proyek pembangunan reklamasi Teluk Benoa di Bali contohnya, tidak bisa lepas karena belum adanya kejelasan komunikasi dari pemerintah untuk menyakinkan bila reklamasi tersebut bisa mendatangkan kebaikan bagi masyarakat setempat, terlepas dari begitu kencangnya tarik ulur kepentingan bermain di dalamnya.

Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati mengatakan, polemik di balik proyek reklamasi Teluk Benoa karena pemerintah tidak mampu menjembatani komunikasi antara warga dengan pelaku usaha atas proyek reklamasi, disamping tetap harus memenuhi aspek analisis dampak lingkungan (amdal). “Pemerintah harus jelaskan secara tuntas dan yakinkan masyarakat bila reklamasi juga mempunyai nilai positif bagi ekonomi warga setempat.”ujarnya di Jakarta, kemarin.

Menurut Enny, selama ini publik lebih banyak menerima informasi yang tidak seimbang atau lebih banyak sisi negatifnya soal reklamasi ketimbang positifnya. Maka atas dasar itulah, pemerintah harus membuat tim dan kajian independen serta komprehensif atas proyek reklamasi dan bukan kajian yang abal-abal untuk melihat, apakah reklamasi sudah menjadi kebutuhan atau sebaliknya membawa keburukan.

Bagaimanapun juga revitalisasi reklamasi Teluk Benoa yang keputusannya ada di tangan pemerintah, lanjutnya, tentunya mempunyai pertimbangan sisi ekonomi, disamping lingkungan dan budaya untuk menjunjung kearifan lokal. Namun hal ini perlu kajian dan tim independen agar pemerintah mempunyai dasar dalam mensosialisasikan dibalik pentingnya revitalisasi reklamasi Teluk Benoa atau sebaliknya sehingga tidak terjadi kegaduhan.

Enny menambahkan, belum keluarnya izin amdal yang sudah diajukan pihak pengelola reklamasi makin membuat ketidakpastian bagi pelaku usaha dan hal ini lagi-lagi persoalan komunikasi yang tidak bisa dioptimalkan pemerintah. Padahal dibalik reklamasi, diakui Enny, mempunyai nilai ekonomi yang cukup besar seperti mampu  menyerap tenaga kerja ataupun mendatangkan investor baru.

Dialog yang Cerdas

Hal senada juga disampaikan antropolog Universitas Indonesia (UI), Nurmala Kartini Sjahrir, reklamasi Teluk Benoa di Bali ke depan akan menjadi ikon wisata baru bagi Bali. Namun karena skill komunikasi pemerintah daerah (pemda), khususnya Badung dinilai lemah akhirnya mendapatkan resistensi atau penolakan dari masyarakat. Pemerintah harus mengkomunikasi reklamasi sejelas-jelasnya dengan pengawasan yang ketat.“Pada dasarnya pro dan kontra adalah hal yang wajar, namun menolak tanpa solusi dan mengabaikan begitu saja juga merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab.”tandasnya. Dirinya melihat, yang diperlukan masyarakat saat ini adalah suatu dialog yang cerdas antara pihak-pihak yang bersinggungan. “Pemerintah harus memfasilitasi hal ini, kalau tidak proses pembangunan ini akan berjalan di tempat,” ujarnya.

Dirinya melihat, reklamasi tidak selamanya harus dilihat dari sisi negatif seperti menghancurkan habitat ekosistem di bawah laut dan menghancurkan hutan mangrove. Namun harus dilihat dari sisi positif, yaitu bisa menghidupkan daerah dan fungsi lahan lebih optimal lagi, khususnya bagi kepentingan ekonomi masyarakat dan wisata di daerah. “Reklamasi bukan sesuatu yang buruk bila mengacu kepada konsep revitalisasi, bukan hanya sekedar menguruk, tetapi mengembalikan fungsi daerah lebih optimal lagi bagi kehidupan masyarakat lagi.”ujarnya.

Kendatipun reklamasi tiap daerah mempunyai kasus yang berbeda, kata Nurmala, kasus Teluk Benoa yang selama ini menjadi tempat yang disucikan warga, malah sebaliknya menjadi daerah yang paling kotor karena banyak sampah. “Mungkin ada baiknya juga bila pihak yang berdemo membela lingkungan juga menyediakan banyak waktu untuk turut membersihkan sampah yang menggunung di hutan mangrove Teluk Benoa,” ujarnya separuh berseloroh.

Nurmala melihat, proses revitalisasi Teluk Benoa akan menjadi preseden yang baik bagi proyek reklamasi di daerah-daerah lain di Indonesia bila dapat berjalan dengan baik. Tentunya hal tersebut bisa dipenuhi bila amdalnya berjalan baik dan tim kajian amdalnya sendiri dibentuk independen oleh pemerintah dengan melibatkan yang pro dan kontra. “Intinya pemerintah harus punya sikap tegas dan kemampuan skil komunikasi dalam mensosialisasikan reklamasi agar tidak menjadi bola liar dan membentuk opini sendiri.”tuturnya.

Sementara menilai demonstrasi yang banyak dilakukan untuk menentang proses reklamasi di Indonesia Damian Mustofan, Penggagas Setara Institute yang juga Ketua Litbang PBHI (Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengatakan, “Demonstrasi sah-sah saja dilakukan, tetapi jangan dilakukan untuk menolak dialog. Itu berbahaya. Karena dilakukan hanya untuk memberikan tekanan, sehingga nantinya keputusan yang diambil merupakan ‘kebijakan by pressure’, dan ini bukan hal yang benar.” Pemerintah di negara ini bukan lagi pemerintah otoriter, tetapi sudah jauh lebih demokratis. Karena itu meski bermacam kepentingan pasti ada, pemerintah harus berdiri di tengah dan memfasilitasi dialog dan kompromi yang rasional antar pihak yang bersinggungan.

[removed][removed]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement