Inilah yang membangunkan Inger Andersen setiap hari dengan tekad baru, "Ketakutan terbesar saya adalah saat kita menjadi abai,” kata ekonom Denmark yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP) sejak 2019 itu. Ia menambahkan bahwa orang-orang miskinlah yang akan sangat menderita jika kita tidak bertindak cepat.
Biaya operasional bisnis secara normal tanpa mengubah cara menangani krisis iklim dan lingkungan mencapai triliunan dolar setiap tahun dan angka ini terus meningkat, menurut laporan yang diliris UNEP hari ini. Menurut laporan tersebut perubahan iklim dapat mengurangi 4% dari PDB global pada 2050 dan 20% di akhir abad ini.
Lebih lanjut, laporan tersebut menunjukkan dunia yang tengah berada di persimpangan. "Kita lanjut ke masa depan yang kian hancur oleh perubahan iklim, alam yang terdegradasi, tanah yang rusak, dan udara yang tercemar atau segera mengubah arah, memastikan planet yang sehat, manusia yang sehat, dan ekonomi yang sehat.”
"Meskipun demikian ini sama sekali bukanlah pilihan, ” jelas Andersen.
Emisi mencapai rekor tertinggi baru pada tahun 2025, yang juga diperkirakan menjadi tahun terpanas kedua setelah tahun 2023, menurut data terbaru dari program observasi bumi Copernicus Uni Eropa.
Manfaat besar masih dapat diraih
Menurut Andersen laporan baru UNEP, yang disusun oleh 287 ilmuwan dari 82 negara, telah menetapkan "peta jalan” untuk tindakan bersama secara global.
Menurut para ilmuwan dalam laporan tersebut, penting untuk mengubah arah dunia termasuk menambah target triliunan dolar setiap tahunnya dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini akan menghindarkan jutaan angka kematian, menyelamatkan ratusan juta orang dari kemiskinan dan kelaparan,
Namun hal tersebut memerlukan koordinasi antara seluruh pemerintah, bisnis, dan masyarakat, untuk mempercepat proses peralihan menuju pertanian berkelanjutan, pemulihan ekosistem, dan peralihan ke energi bersih serta dalam merancang produk dan bahan yang lebih tahan lama dan mengurangi limbah.
Andersen mengingatkan untuk membatasi penggunaan berlebihan sumber daya penting baik itu tanah, air, energi, atau lainnya sehingga ada "tingkat keadilan antar generasi bagi anak-anak dan cucu kita.”
Penulis laporan menyoroti perlunya mengubah pola perilaku dari konsumsi berlebihan dan transformasi ekonomi, tidak semata fokus pada PDB tapi juga menyertakan pengukuran kesejahteraan manusia dan lingkungan, serta menghentikan subsidi berbahaya seperti yang mengalir ke bahan bakar fosil.
Hal ini menurut para ahli dapat menghasilkan manfaat ekonomi global sebesar USD20 triliun (Rp. 330 kuadriliun) per tahun pada tahun 2070, yang akan terus meningkat hingga lima kali lipatnya, USD100 triliun (Rp. 1.550 kuadriliun).
Investasi global tahunan sebesar sekitar $8 triliun (Rp. 124 kuadriliun) diperlukan untuk membantu memulihkan keanekaragaman hayati dan mencapai net-zero pada tahun 2050. Ini adalah titik di mana emisi yang tersisa di atmosfer dapat diserap oleh alam atau dihilangkan melalui teknologi seperti penangkapan karbon.
Investasi ini, menurut para ahli dalam laporan tersebut, jauh lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang ditimbulkan dari keputusan untuk tidak melakukan apa-apa.
Selama 20 tahun terakhir, cuaca ekstrem seperti banjir, badai, dan kebakaran hutan telah menyebabkan kerugian sebesar USD143 miliar (Rp 1.9 triliun).
Pada tahun 2019, dampak kesehatan akibat polusi udara mencapai 6% dari PDB global, dan biaya ekonomi akibat polusi udara diperkirakan akan meningkat menjadi $18-25 triliun(300 hingga 417 kuadriliun) pada tahun 2060, menurut UNEP.
2025: Tahun dengan kemajuan yang beragam
Laporan ini dirilis di akhir tahun yang disertai dengan kemajuan yang beragam dalam isu-isu iklim dan lingkungan.
"Jelas ini adalah tahun yang sulit bagi multilateralisme,” kata Andersen. Namun, ia tetap optimis tentang apa yang dapat dicapai oleh negara-negara bersepakat bekerja sama.
Meskipun "negara-negara tidak bergerak cukup cepat” untuk mengurangi emisi, dia menjelaskan bahwa kemajuan telah dicapai dalam menghindari kenaikan suhu yang lebih tinggi yang diprediksi ketika negara-negara berkumpul pada tahun 2015 untuk menandatangani Perjanjian Paris, yang bertujuan untuk membatasi pemanasan global idealnya hingga 1,5 derajat Celsius.
Andersen kecewa karena konferensi iklim PBB tahun ini di kota Belem, Brasil, tidak mencapai kesepakatan mengenai jalur menuju transisi dari minyak, batu bara, dan gas yang mencemari lingkungan.
Meskipun demikian ia tetap antusias melihat output konferensi yang ingin melakukan akselerasi penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Konfrensi yang dipimpin oleh Belanda dan Kolombia ini dijadwalkan pada bulan April.
"Konvensi iklim terus berjalan, tetapi kita perlu mempercepatnya,” katanya, menambahkan bahwa jika tidak, kita akan membayar harga yang tinggi dalam bentuk kebakaran, banjir, kekeringan, dan panas ekstrem.
Alasan untuk tetap optimis di tahun 2026
Ke depannya, Andersen mengatakan pentingnya untuk "merayakan energi terbarukan yang kini menjadi sangat, sangat kompetitif.”
Dia menyoroti "fenomena menarik” di mana sumber energi seperti angin dan matahari kini menghasilkan energi dengan biaya yang jauh lebih rendah daripada bahan bakar fosil.
Andersen menyoroti contoh Texas di AS, yang meskipun merupakan negara bagian penghasil minyak, kini mampu mendapatkan hampir 40% listriknya dari energi terbarukan.
"Sungguh menarik melihat pasar bergerak membantu kita mengatasi krisis iklim,” kata Andersen, menambahkan bahwa energi terbarukan adalah sektor yang "tidak dapat dihentikan karena harga dan karena daya saingnya.”
Ketakutan terbesarnya mungkin adalah rasa cepat berpuas diri dan menjadi abai. Andersen termotivasi melihat gerakan-gerakan yang diinisiasi berbagai kelompok mendorong aksi iklim yang mulai dari dunia usaha, aktivis muda, ilmuwan, hingga pemimpin agama. Menurutnya gerakan-gerakan ini kian kuat dan tak dapat diputar-dibalikkan.
"Yang memberi saya harapan adalah adanya solusi dan jutaan orang yang menyerukan hal yang sama.”
Dia berharap hal ini akan terwujud dalam tindakan politik. "Saya sering mengatakan, pegang tangan anak Anda atau posisikan diri Anda sebagai seorang anak saat Anda memasuki bilik pemungutan suara. Pilihlah pemimpin yang tepat untuk masa depan Anda....”
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Yuniman Farid