REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku peledakan SMAN 72 Jakarta yang berstatus anak berkonflik dengan hukum (ABH) diketahui merupakan penerima program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Namun, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jakarta belum memutuskan untuk mencabut program itu dari pelaku.
Gubernur Jakarta Pramono Anung mengatakan, penanganan kasus itu masih dalam proses aparat kepolisian. Karena itu, ia tidak mau buru-buru memutuskan untuk mencabut program KJP dari pelaku peledakan sekolah tersebut.
"Ya, ini kan masih proses. Sehingga dengan demikian saya tidak akan terburu-buru untuk memutuskan," kata dia di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Jumat (14/11/2025).
Ia menilai, siswa penerima KJP merupakan warga yang berasal dari kalangan yang tidak mampu. Artinya, jika ABH itu merupakan penerima KJP, yang bersangkutan memang benar-benar membutuhkannya.
"Karena bagaimanapun seseorang yang menerima Kartu Jakarta Pintar itu pasti latar belakangnya memang memerlukan untuk itu. Jadi saya belum memutuskan apa pun tentang hal itu," ujar Pramono.
Sebelumnya, pemerhati pendidikan dan anak Retno Listyarti tidak yakin ABH itu dapat membeli seluruh bahan untuk merakit bom itu seorang diri. Pasalnya, harga sejumlah material untuk merakit bom cukup mahal. Sementara itu, ABH diketahui sebagai penerima KJP.
Menurut dia, polisi harus dapat menelusuri sumber uang ABH untuk membeli barang-barang itu. Termasuk dan siapa pihak yang menjual barang-barang itu kepada pelaku.
"Polisi seharusnya menelusuri toko tempat pembelian, meski pembelian dilakukan secara online sekalipun semua bisa dilacak," kata dia melalui keterangannya kepada Republika.
Diketahui, dalam Pasal 23 Pergub Jakarta Nkmor 110 Tahun 2021 tentang Bantuan Sosial Biaya Pendidikan disebutkan larangan bagi para penerima bantuan sosial biaya pendidikan, seperti KJP. Beberapa laranga itu antara lain: