REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Komandan milisi anti-Hamas, Yasser Abu Shabab, dilaporkan tewas terbunuh di Gaza. Media-media Israal pada Kamis (4/12/2025) mengonfirmasi kematian Abu Shabab yang selama ini diyakini berkolaborasi dengan Israel untuk operasinya di Gaza.
Kematian Abu Shabab menjadi babak akhir bagi pria yang mendeklarasikan kelompoknya, Popular Force sebagai sebuah alternatif pengganti Hamas di Jalur Gaza. Menurut laporan Al Jazeera, Jumat (5/12/2025), Abu Shabab yang pada usia 30 tahunan berasal dari suku Bedouin Tarabin di selatan Gaza, tidak dikenal sampai pada akhir tahun lalu muncul sebagai kepala milisi anti-Hamas.
Awalnya, milisi yang dipimpin Abu Shabab disebut sebagai Unit Anti-Teror hingga pada Mei 2025, menjadi lebih popular dengan nama Popular Force. Pasukan Abu Shabab diyakini beranggotakan 100 orang bersenjata yang beroperasi di area Gaza yang dikontrol Israel.
Beroperasi di antara peran sebagai geng kriminal dan pasukan antek-Israel, Abu Shabab kerap mempresentasikan kelompoknya sebagai sebuah kelompok nasionalis Palestina yang mendedikasikan diri melawan Hamas. Pencitraan itu demi melayani sebuah tujuan bagi Israel, meski tujuan akhir dari Abu Shabab cs tidak pernah jelas, khususnya saat menjadi sangat terbukti bahwa Popular Force tidak mendapatkan dukungan luas di kalangan warga Gaza.
Gagalnya tujuan Popular Force lantara bagi banyak warga Palestina, Abu Shabab adalah seorang kriminal. Abu Shabab pernah ditahan oleh otoritas Palestina di Gaza selama beberapa tahun terkait dengan tindak pidana sebelum bebas dari penjara pada awal masa perang Gaza.
Aliansinya dengan Israel, yang melancarkan kampanye genosida di Gaza dan membunuh sedikitnya 70.120 orang, membuat Abu Shabab ditolak oleh kebanyakan warga Palestina. Bahkan, bagi suku Bedouin Tarabin, kematian Abu Shabab disebut sebagai "akhir dari babak gelap yang tidak merepresentasikan sejarah dari suku kami".
Di kalangan analis Timur Tengah, ideologi militansi Abu Shabab tidak jelas, dan semata didorong oleh ambisinya untuk berkuasa di Gaza dibandingkan dengan menunjukkan suatu pendirian politik tertentu. Pencitraan awal kelompoknya lewat bahwa "anti-terorisme" juga dianggap ironis, menimbang rekam jejak Abu Shabab yang pernah terhubung dengan ISIS.
Terdapat juga disparitas antara latar belakang Abu Shabab dan kehadirannya di media sosial, dengan unggahan-unggahan konten berbahasa Inggris, termasuk sebuah artikel opini yang pernah diterbitkan Wall Street Journal. Di artikel yang sempat viral itu, Abu Shabab mengeklaim bahwa Popular Forces mengontrol sebagai besar area di Rafah, selatan Gaza, siap "untuk membangun kembali sebuah masa depan".
"Tujuan utama kami adalah memisahkan warga Palestina yang tidak ada kaitannya dengan Hamas yang berperang," demikian tercantum dalam artikel dengan atribusi namanya.
Saat Abu Shabab mencoba untuk terus membantah kolaborasinya dengan Israel, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Juni mengakui bahwa pemerintahnya menggunakan klan bersenjata -- yang kemudian dikonfirmasi oleh beberapa laporan media bahwa itu adalah pasukan Abu Shabab -- untuk memerangi Hamas.
Ide memanfaatkan klan bersenjata itu, menurut Netanyahu, adalah nasihat dari pejabat keamanannya di kabinet, meski pada masa lalu, ide serupa pernah gagal diimplementasikan saat Israel berkolaborasi dengan kelompok Angkata Bersenjata Lebanon Selatan untuk operasi militer Israel di Lebanon.
View this post on Instagram