Selasa 22 Jul 2025 10:44 WIB

Mantan Hakim MK: Kejagung Memang Berwenang Usut Tom Lembong

Peradilan yang independen dan imparsial harus memperhatikan seluruh aspek.

Terdakwa Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Senin (30/6/2025). Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dengan pidana 4 tahun dan enam bulan penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus dugaan korupsi impor gula.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Senin (30/6/2025). Majelis Hakim menjatuhkan hukuman kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dengan pidana 4 tahun dan enam bulan penjara, denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan dalam kasus dugaan korupsi impor gula.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan hakim Mahkamah Agung (MA), Maruarar Siahaan, mengatakan Kejaksaan Agung (Kejagung) memang boleh memproses hukum Tom Lembong, jika memang menemukan indikasi korupsi dalam impor gula. Kejaksaan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya memiliki kewenangan melakukan proses hukum terhadap dugaan korupsi impor gula.

Menurut Maruarar, kejaksaan mempunyai kewenangan memproses hukum hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dan dalam prosesnya, hakim lah yang menguji kebenaran dakwaan terhadap Tom Lembong dari seluruh aspek.

“Peradilan yang independen dan imparsial harus memperhatikan seluruh aspek. Kejaksaan bertindak atas dasar objektif yang subjektif artinya melihat dari sudut penuntut umum. Tapi hakim itu melihat dari sudut objektif yang objektif yaitu tidak boleh memihak pada siapapun,” kata Maruarar.

Hakim akan bisa melihat dari sudut objektif yang objektif jika independen, tidak ada tekanan , tidak ada pengarahan. Sehingga hakim harus mempertimbangkan sebuah kebijakan atau diskresi kebijakan yang dianggap bertentangan dengan undang-undang maka tanggung jawabnya adalah presiden.

“Jadi tanggung jawabnya jangan digeser dari presiden sebagai pimpinan eksekutif, yang memberi mandat kepada menteri untuk menjalankan tugas yang dikelolanya,” kata dia.

Dalam kasus gula Tom Lembong, Maruar mengatakan, jika memang keputusan impor gula tersebut merupakan kebijakan negara maka presiden seharusnya memiliki kewenangan untuk mengoreksinya. Hal ini karena menteri adalah bawahannya. “Kalau tidak dikoreksi maka berarti kebijakan itu diterima, karena itu tanggung jawabnya adalah eksekutif secara keseluruhan,” kata Maruarar.

Setiap kebijakan ada kemungkinan merugikan atau menguntungkan orang lain, yang harus dipertanggungjawabkan oleh presiden. “Presiden tidak boleh mengatakan itu adalah kebijakan menteri karena menteri adalah pembantunya. Tidak mungkin menteri melakukan sebuah tindakan tanpa restu presiden,” ungkapnya.

Maruarar melihat kesalahan prinsip di proses hukum Tom Lembong adalah tanggung jawab hukum. “Kalau itu (impor gula) merupakan kebijakan pemerintah itu tanggung jawab siapa?” kata dia.

Diungkapkan pula, jika pada saat itu ada aturan yang melarang impor gula karena pasokan di dalam negeri sudah cukup, berarti ada diskresi atau pengecualian. Diskresi tersebut seharusnya sepengetahuan dan disetujui presiden.

“Penilaian seperti itu (diskresi) tunduk pada hukum administrasi negara, yang puncaknya adalah presiden. Kan tidak mungkin penilaian itu tidak dilaporkan (Tom Lembong) ke presiden. Jadi kalau presiden tidak melakukan apa-apa tentu menjadi tanggung jawab presiden,” papar Maruarar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement