REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum pidana Universitas Lampung, Hieronymus Soerjatisnanta, menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak bisa dipersalahkan ketika mempidanakan Tom Lembong. Dalam kasus Tom Lembong, Kejagung memiliki dua alat bukti, sementara hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan punya keyakinan terdakwa bersalah.
“Prinsip dasarnya, jika penyidik apakah itu polisi, KPK, ataupun kejaksaan terhadap pidana apapun, termasuk pidana korupsi maka diawali dengan alat bukti. Di minimum dua alat bukti ini, apakah sudah terpenuhi atau belum,” kata guru besar yang biasa disapa Tisnanta ini.
Kejaksaan menganggap sudah memiliki dua alat bukti tersebut sudah terpenuhi. Ketika kemudian dibawa ke proses pengadilan yang dinilai hakim telah terbukti.
“Tapi proses pada terbukti ini adalah sebuah proses pembuktiannya (kasus Tom Lembong) tidak bisa terbukti seterang cahaya. Jadi terbuktinya remang-remang. Namun kan proses hukumnya belum selesai, masih ada banding, kasasi, maupun peninjauan kembali,” ungkapnya.
Tisnanta mengatakan, dalam proses hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, hakim harus berhati-hati.
Dalam konteks pembuktian, menurut Tisnanta, dari sekian alat bukti yang diatur dalam KUHAP, yang paling penting adalah keyakinan hakim. “Di situlah hakim akan menentukan sebuah kasus akan selesainya seperti apa. Ketika hakim sudah memutuskan maka putusan pengadilan itu harus dianggap benar," kata dia.
Tisnanta mengatakan, dalam tindak pidana korupsi terdapat unsur memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain. Dalam kasus ini, kata Tisnanta, Tom Lembong dianggap memperkaya orang lain. “Pertanyaannya adalah kebijakan Tom Lembong ini apakah layak dipertanggung jawabkan Tom Lembong secara pribadi, sebab kebijakan ini sudah dibahas dengan tidak sederhana,” ungkap Tisnanta.
Dalam konteks ini, menurut Tisnanto, menjadi penting untuk memperjelas hal yang dimaksud memperkaya orang lain. Dijelaskannya, ketika memperkaya orang lain ini didasarkan pada kebijakan tanpa niat jahat maka Tom Lembong tidak layak untuk dipidanakan.
“Memang ada dua pendapat yang berbeda di kalangan akademisi terkait kasus Tom Lembong, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Saya cenderung ada di tengah,” kata dia.
Dijelaskannya, ia mempertanyakan putusan hakim dalam perkara Tom Lembong yang menyebutkan frase ‘mendukung kapitalisme’. Menurut Tisnanta, dalam konteks pidana korupsi adanya kerugian negara harus ada kerugian yang dapat dihitung. “Yang utama sebenarnya kan kerugian perekonomian negara manakah yang terjadi dengan kebijakan impor gula tersebut. Adakah keguncangan ekonomi dengan kebijakan ini?” papar Tisnanta.
Kedua, lanjutnya, ketika ada keguncangan ekonomi yang didasarkan kebijakan maka hal itu tidak bisa dipidanakan. Sebab kebijakan impor gula dilakukan melalui proses yang seharusnya juga diketahui presiden. Ketika terjadi keguncangan ekonomi dan Tom Lembong tidak mendapatkan keuntungan seharusnya tidak bisa dipidanakan.