REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China menuding kelompok G7 lagi-lagi memanipulasi isu terkait China dalam pertemuan puncak mereka di Kanada. Pertemuan G7 di Kanada itu berlangsung pada 15–17 Juni dan dihadiri tujuh negara anggota tetap: Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
"KTT G7 sekali lagi memanipulasi isu-isu yang berkaitan dengan China," kata Juru Bicara Kemlu China Guo Jiakun dalam konferensi pers di Beijing pada Rabu (18/6/2025).
Para pemimpin G7 dalam pernyataan resminya meminta China untuk menahan diri dari distorsi pasar dan kelebihan kapasitas yang merugikan, mengatasi tantangan global, dan mempromosikan perdamaian dan keamanan internasional. Mereka juga menyampaikan kekhawatiran serius terhadap aktivitas China yang dianggap tidak stabil di Laut China Timur dan Selatan dan menekankan pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan.
"G7 membuat pernyataan yang tidak bertanggung jawab tentang Taiwan, Laut China Selatan, dan Laut China Timur, yang secara keliru menuduh China melakukan 'kelebihan kapasitas' dan 'distorsi pasar'," kata Guo.
"Ini merupakan campur tangan ke dalam urusan internal China dan pelanggaran norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional."
Guo menambahkan bahwa China dengan tegas menentang hal itu dan telah mengajukan protes keras kepada pihak-pihak terkait. "Faktor terbesar yang merusak perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan adalah kegiatan separatis 'kemerdekaan Taiwan' dan campur tangan kekuatan eksternal," kata dia.
Jika G7 benar-benar peduli dengan perdamaian di Selat Taiwan, kata Guo, mereka harus mematuhi prinsip satu China, menentang keras “kemerdekaan Taiwan”, dan mendukung penyatuan kembali China.
"Saat ini, situasi di Laut China Timur dan Laut China Selatan secara umum stabil. G7 harus menghormati upaya bersama negara-negara di kawasan untuk menyelesaikan masalah melalui dialog dan konsultasi serta menjaga perdamaian dan stabilitas," katanya.
Guo juga meminta G7 untuk berhenti memanfaatkan isu maritim untuk menabur perselisihan di antara negara-negara di kawasan dan meningkatkan ketegangan regional. Pada KTT G7 itu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menuduh China melakukan "distorsi" dalam perdagangan global karena menyebabkan kelebihan kapasitas industri dan penggunaan subsidi yang berlebihan.
"Apa yang disebut sebagai tuduhan 'distorsi pasar' dan 'kelebihan kapasitas' sama sekali tidak benar," kata Guo.
"G7 menggunakannya sebagai alasan untuk praktik proteksionis perdagangan mereka, dan pada dasarnya untuk menahan dan menekan kemajuan industri China serta mempolitisasi dan mempersenjatai masalah ekonomi dan perdagangan."
China, kata Guo, sekali lagi mendesak G7 untuk meninggalkan mentalitas Perang Dingin dan bias ideologis, berhenti mencampuri urusan internal China, berhenti menghasut konflik dan konfrontasi, dan bertindak demi kepentingan masyarakat internasional.
Selain dihadiri von der Leyen dan Perdana Menteri (PM) Kanada Mark Carney sebagai tuan rumah, KTT G7 itu juga diikuti oleh Presiden AS Donald Trump, PM Inggris Keir Starmer, PM Italia Giorgia Meloni, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz, dan PM Jepang Shigeru Ishiba. Para pemimpin itu membahas kerja sama ekonomi yang berkembang dengan kawasan tersebut. Mereka juga menyoroti pentingnya Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, makmur, dan aman berdasarkan aturan hukum.