REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, menillai, penetapan Zarof Ricar sebagai tersangka Tidak Pidana Pencucian Uang (TPPU), merupakan langkah progresif Kejaksaan Agung (Kejagung) sebelum adanya UU Pencucian Uang. Dengan penggunaan pasal TPPU akan bisa dikejar pengembalian kerugian negara, maupun pengungkapan suap-suap lain yang dilakukan Zarof Ricar.
“Dengan TPPU, paling tidak saksi-saksi atau terdakwa bisa memberikan informasi sumber uang berasal darimana saja,” kata Hibnu.
Hibnu melihat ada dua dimensi pentingnya penetapan Zarof Ricar sebagai tersangka TPPU. Pertama, dimensi pengembalian uang negara, yaitu Kejagung tidak hanya mempidanakan Zarod saja tetapi juga mengembalikan kerugian keuangan negara.
Kedua dimensi pembuktian dan pembongkaran kasus. Diharapkan Zarof di persidangan akan memberi keterangan tentang asal-usul uang Rp.951 miliar dan emasnya, maupun digunakan untuk mengatur kasus apa saja.
“Uang itu dari mana, siapa?, perkara apa?, persidangan dimana?. Jangan sampai Zarof ini akan menutup diri. Kan repot kalau menutup diri. Kalau mau membuka kan itu hampir lima tahun, masak tidak ingat? Sehingga jika dibuka akan terus berlanjut, siapa yang harus bertanggung jawab atas suap atas TPPU ini,” ungkap Hibnu.
Ia melihat cara ini akan cukup efektif untuk membongkar dugaan mafia peradilan dari temuan uang dan emas senilai hampir Rp,1 triliun ini.
Dengan belum adanya UU Perampasan Aset, kata Hibnu, penggunaan TPPU merupakan cara normatif yang bisa membuat efek jera bagi pelakunya. “Ini kan bisa mengetahui follow the money ini sebenarnya larinya kemana saja. Ini cara pemiskinan melalui TPPU,” kata dosen pengajar Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto ini.
Agar memudahkan pembongkaran secara menyeluruh, Hibnu menyarankan Kejagung menggandeng PPATK, untuk mengetahui aliran uang suap. “Sebagai bentuk informasi sumber dana, aliran dana, maka PPATK bisa memberi bantuan yang nyata, Sehingga Kejagung tinggal membongkarnya