REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polri menyampaikan sejumlah alasan mengapa tak bisa memenuhi petunjuk Kejaksaan Agung (Kejagung) agar menjerat para tersangka kasus pagar laut di Tangerang, Banten dengan pasal-pasal terkait tindak pidana korupsi (tipikor).
Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan, kasus pemagaran laut sepanjang 30 Km tersebut, tetap mengacu pada penjeratan pidana umum berupa pemalsuan, karena tim penyidikan tak menemukan adanya unsur kerugian negara.
Djuhandani menjelaskan, tim penyidiknya sudah menerima pengembalian berkas perkara dari kejaksaan atas nama Arsin, kepala desa (Kades) Kohod yang merupakan salah-satu tersangka kasus pagar laut.
Dalam pengembalian berkas tersebut, kata Djuhandani, Jaksa Penuntut Umum (JPU) memang memberikan catatan-catatan dan petunjuk agar penyidik di Dittipidum Bareskrim menjerat para tersangka mengacu pada pasal-pasal dalam Undang-undang (UU) Tipikor. “Kasus Kohod (pagar laut Tangerang), kami sudah membaca dan mempelajari petunjuk-petunjuk P-19 dari kejaksaan,” kata Djuhandani di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (10/4/2025).
Dari pengembalian berkas tersebut, selanjutnya, kata Djuhandani tim penyidiknya berusaha untuk memenuhi petunjuk tersebut agar dapat menerapkan sangkaan-sangkaan korupsi. Tim penyidik, kata Djuhandani berkoordinasi dengan lembaga-lembaga auditor negara.
Koordinasi tersebut untuk meminta penjelasan dari auditor tentang apakah ada kerugian negara dalam kasus pagar laut di Tangerang, Banten. Penjelasan auditor negara terkait ada atau tidaknya kerugian negara itu, menjadi dasar mutlak bagi penyidik dalam penjeratan sangkaan korupsi.
“Dari teman-teman BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), kita diskusikan kira-kira ini (pemagaran laut) ada kerugian negaranya di mana? Dan mereka (BPK), belum bisa menjelaskan,” ujar Djuhandani.
Selain meminta pendapat dari BPK, kata Djuhandani, tim penyidik juga meminta pendapat para saksi-saksi ahli. “Dan dari diskusi dengan beberapa ahli, kita mempelajari apakah ini (pemagaran laut) termasuk kategori tindak pidana korupsi atau tidak,” ujar Djuhandani.
Dari kesimpulan bersama BPK, serta pendapat para ahli, penyidik mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 25/PUU-14-2016. Putusan khusus tersebut terkait dengan dasar konstitusionalitas penanganan perkara tindak pidana korupsi yang mengharuskan adanya kerugian negara nyata.
View this post on Instagram