REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polri terkesan menghindar untuk menjawab petunjuk Kejaksaan Agung (Kejagung) yang meminta penyidik kepolisian menjerat tersangka Arsin, kepala desa (Kades) Kohod dengan sangkaan korupsi dalam kasus pagar laut di perairan utara Tangerang, Banten. Alih-alih mengikuti petunjuk Jaksa Penuntut Umum (JPU), penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim malah menyatakan kasus pagar laut itu tak mengandung kerugian negara.
“Terkait dengan kasus Kohod di Tangerang, kami sudah membaca dan mempelajari petunjuk P-19 dari kejaksaan,” ujar Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhandani Rahardjo Puro, Kamis (10/4/2025).
“Dan kami sudah mempelajari (petunjuk kejaksaan), kemudian mengambil langkah-langkah,” sambung dia.
Berdasarkan petunjuk jaksa, kata Djuhandani, tim penyidikannya berkoordinasi dengan lembaga-lembaga auditor negara. Hal tersebut, kata dia, dilakukan untuk memenuhi petunjuk kejaksaan terkait dengan penjeratan sangkaan korupsi terhadap tersangka Arsin.
“Kita coba berdiskusi salah-satunya dengan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Dari teman-teman di BPK, kita diskusikan kira-kira apakah ini (kasus pagar laut) ada kerugian negara?” ujar Djuhandani.
Dan dari koordinasi dengan lembaga auditor negara itu, kesimpulannya belum dapat menemukan adanya kerugian negara. “Mereka (BPK) belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara,” kata Djuhandani.
Selain meminta pendapat dari BPK, kata Djuhandani, tim penyidik juga meminta pendapat para ahli. “Dan dari diskusi dengan beberapa ahli, kita mempelajari apakah ini (pemagaran laut) termasuk kategori tindak pidana korupsi atau tidak,” ujar Djuhandani.
Berdasarkan kesimpulan bersama BPK, serta pendapat para ahli, penyidik mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 25/PUU-14-2016. Putusan khusus tersebut terkait dengan dasar konstitusionalitas penanganan perkara tindak pidana korupsi yang mengharuskan adanya kerugian negara nyata.
Kerugian nyata tersebut harus berdasarkan atas pemeriksaan BPK, atau Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Adanya kerugian negara berdasarkan hasil penghitungan BPK ataupun BPKP tersebut sebagai acuan dalam penjeratan sangkaan Pasal 2 maupun Pasal 3 UU Tipikor.
Menurut Djuhandani, ketika BPK tak dapat menjelaskan tentang adanya kerugian negara nyata terkait kasus pagar laut di Tangerang, Banten, tim penyidik pun tak dapat memenuhi petunjuk kejaksaan yang menghendaki penjeratan sangkaan korupsi. “Ini juga merupakan jawaban kami kepada JPU,” kata Djuhandani.
Terkait dengan kerugian, sebetulnya tim penyidik menemukan bukti tentang kerugian. Namun, kerugian tersebut bukan merupakan kerugian negara yang nyata, melainkan kerugian yang dialami oleh para nelayan akibat pemagaran laut tersebut.
“Kerugian yang ada saat ini yang didapatkan oleh penyidik, adalah kerugian yang oleh para nelayan dengan adanya pemagaran laut itu,” ujar dia.
Sebab itu Djuhandani menegaskan, tim penyidikannya di Dittipidum Bareskrim Polri tetap mengacu pada penyangkaan pasal-pasal pemalsuan dokumen, maupun surat-surat terhadap para tersangka. “Jadi kita masih melihat ini sebagai tindak pidana umum, berupa pemalsuan,” ujar Djuhandani.
Djuhandani melanjutkan, catatan lain dari kejaksaan yang menerangkan soal dugaan suap dan gratifikasi dalam kasus pemagaran laut, hingga kini pun kasusnya masih pada tahap penyelidikan di direktorat lainnya. “Terdapatnya indikasi pemberian suap atau gratifikasi kepada para penyelenggara negara, saat ini sedang dilakukan penyelidikan oleh Kortas Tipidkor Mabes Polri,” ujar Djuhandani.
