Senin 18 Aug 2025 13:15 WIB

Gapasdap Sebut Indonesia Belum Merdeka dari Penjajahan ODOL

Sejak tahun 2017, kebijakan Zero ODOL sudah enam kali ditunda.

Ratusan sopir truk melakukan aksi menolak kebijakan Zero ODOL 2027 yang diterapkan pemerintah di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ratusan sopir truk melakukan aksi menolak kebijakan Zero ODOL 2027 yang diterapkan pemerintah di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap), Khoiri Soetomo menyampaikan, kebahagiaan dan kebanggaannya bangsa Indonesia telah bebas dari penjajahan asing selama 80 tahun. Namun demikian, ia merasa, transportasi penyeberangan masih belum merdeka dari penjajahan muatan kendaraan berlebih (over dimension overload/ODOL).

"Sejak tahun 2017, kebijakan Zero ODOL sudah enam kali ditunda. Penundaan demi penundaan ini adalah bentuk kelalaian kebijakan yang berujung pada kebodohan kolektif, keselamatan diabaikan, kerugian ekonomi dibiarkan, dan masa depan transportasi nasional disandera oleh kepentingan sesaat," kata Khoiri di Jakarta, Senin (18/8/2025).

Baca Juga

Dia menyebut, ODOL adalah bentuk penjajahan modern di jalan dan penyeberangan. Khoiri mencatat, banyak permasalahan yang muncul akibat kendaraan ODOL, yaitu mengorbankan nyawa dan keselamatan. Truk ODOL sudah terbukti menjadi pemicu berbagai kecelakaan di jalan raya maupun kapal penyeberangan.

"Kapal tenggelam karena beban berlebih, dermaga rusak, jalan nasional cepat hancur, dan korban jiwa berjatuhan. Keselamatan rakyat tidak bisa ditawar-tawar," ujar Khoiri.

Kemudian, kerusakan jalan akibat ODOL ditanggung oleh APBN/APBD yang bersumber dari pajak rakyat. Kapal feri harus menanggung kerusakan konstruksi, mesin, dan risiko tenggelam. "Yang untung hanya segelintir pemilik truk ODOL, sementara kerugian dibebankan kepada bangsa," ucap Khoiri.

Belum lagi, sambung dia, operator feri yang menolak kendaraan ODOL justru dimusuhi, bahkan bisa dipaksa menerima dengan alasan "menghindari keributan di lapangan". Padahal aturan jelas melarang ODOL. Khoiri menyebut, hal itu adalah bentuk ketidakadilan hukum dan ekonomi.

Selain itu, ODOL juga menghambat kemajuan peradaban transportasi. Menurut Khoiri, bangsa lain sudah menerapkan sistem logistik modern yang beradab, efisien, dan selamat. "Sedangkan Indonesia masih tersandera ODOL, seolah rela kalah oleh peradaban," katanya.

Menurut Khoiri, terhitung sejak 2017, pemerintah telah enam kali melakukan penundaan terhadap kebijakan Zero ODOL. Sayangnya, pemerintah takut mengambil keputusan berani. Hal itu dipicu faktor, takut demo sopir dan kegaduhan politik, takut inflasi dan ekonomi biaya tinggi.

Selain itu, takut turunnya elektabilitas menjelang pemilu, dalih jumlah truk tidak cukup, serta dalih ekonomi belum siap. "Semua itu hanyalah alasan politik sesaat, bukan alasan keselamatan rakyat," kata Khoiri. Karena itu, ia berharap, Zero ODOL benar-benar ditegakkan pada 2027.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement