REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Warganet pada Rabu (21/8/2024) menumpahkan kekecewaan mereka atas langkah DPR menggelar rapat pembahasan RUU Pilkada sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait persyaratan pencalonan calon kepala daerah. DPR dinilai tengah melakukan akrobat politik untuk menganulir putusan MK tersebut.
Gambar 'Peringatan Darurat' muncul pada Rabu siang dengan ilustrasi lambang garuda berlatar warna biru. Seiring dengan viralnya gambar 'Peringatan Darurat' itu, tagar #KawalPutusanMK menjadi topik trending bahkan di dunia. Hingga sekitar pukul 16.00 WIB, tercatat tagar itu telah melibatkan 487 ribu interaksi (engagement).
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona mengatakan, jika penganuliran putusan MK oleh DPR benar-benar terjadi, patut dinilai sebagai pembangkangan terhadap konstitusi. Masyarakat, kata dia perlu melawan sikap legislatif, dan eksekutif tersebut, dengan turut melakukan pembangkangan massal.
“Kita mendengar informasi, hari ini Baleg DPR akan rapat membahas putusan MK, dan kemungkinan akan menganulir putusan MK yang sudah baik merasionalisasikan ambang batas untuk pilkada itu. Jika itu benar terjadi (menganulir putusan MK), bahwa itu sebenarnya adalah pembangkangan terhadap konstitusi,” kata Yance saat dihubungi Republika, dari Jakarta, Rabu (21/8/2024).
“Dan masyarakat, harus melawan pembangkangan itu dengan turut juga melakukan pembangkan. Karena ini sudah menyangkut soal integritas dari negara hukum, dan demokrasi,” begitu ujar Yance.
Yance mengatakan, tak ada kewenangan DPR, maupun pemerintah dalam menganulir putusan MK. Justru sebaliknya, MK yang memiliki kewenangan berdasarkan Undang Undang Dasar (UUD) untuk menganulir, atau mengevaluasi, pun memperbaiki produk legislasi DPR bersama pemerintah yang dinilai tak konstitusional.
“Jadi ini jangan dibalik-balik. Ini kok malah DPR dan pemerintah yang mau menganulir putusan MK. Jelas itu salah,” kata Yance.
Baleg DPR pada Rabu (21/8/2024) menggelar rapat Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (RUU Pilkada) sehari setelah MK mengeluarkan putusan terhadap uji materi pasal-pasal UU Pilkada terkait syarat pencalonan kepala daerah. Pakar politik Prof. Burhanuddin Muhtadi menilai DPR tengah melakukan akrobat politik dengan tujuan menganulir putusan MK.
"Putusan MK sangat jelas: “partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu..” Tapi lucunya DPR akrobat sedemikian rupa untuk menganulir Putusan MK. Logikanya sederhana: masak partai yg tidak punya kursi bisa mencalonkan, sementara partai-partai yg punya kursi harus mencapai minimal 20 persen-30 persen untuk bisa mencalonkan di pilkada. Saya nggak paham lagi deh," ujar ahli Prof. Burhanuddin Muhtadi lewat akun @BurhanMuhtadi yang sudah diverifikasi oleh X, Rabu.
Burhanuddin pun mengingatkan warganet untuk tidak teralihkan isunya kecuali fokus untuk mengawal putusan MK. Menurutnya, DPR saat ini tengah berupaya menyiasati putusan MK dengan cara tidak memberlakukan ambang batas hanya pada partai yangg tidak punya kursi di DPRD, sementara partai yang punya kursi tetap diberlakukan aturan threshold 20-25 persen utk bisa mencalonkan di pilkada.