Rabu 06 Mar 2024 14:28 WIB

Pakar Ungkap Beragam Permasalahan di Sirekap KPU

Salah satu kesalahan tidak adanya fitur edit di Sirekap buat Pilpres untuk perbaikan.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Dr. Pratama Persadha
Foto: dok. Cissrec
Dr. Pratama Persadha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pakar Keamanan Siber dari Communication and Information System Security Research (CISSReC), Pratama Persadha mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) semestinya mempublikasikan sebagian source code Sirekap, terutama pada bagian pembacaan OCR dan OMR, serta bagian memasukkan data hasil bacaan ke dalam database sirekap.

Hal itu diperlukan untuk mengetahui kebenaran permasalahan Sirekap yang menjadi sorotan publik belakangan.

Baca Juga

 “KPU seharusnya mempublikasikan sebagian source code dari sirekap terutama pada bagian pembacaan OCR dab OMR serta bagian memasukkan data hasil bacaan kedalam database sirekap. Dan harus menjadi catatan, source code yang harus dibuka ke publik adalah source code dari sirekap versi awal yang dipergunakan oleh KPPS, bukan sirekap yang sudah direvisi oleh KPU,” ucap Pratama kepada Republika, Rabu (6/3/2024).

Dia mengatakan, selain lokasi server, salah satu polemik sirekap lainnya memang masalah kesalahan antara data yang ada di Sirekap dengan foto formulir C hasil yang diunggah oleh anggota KPPS.

Perbedaan data itu oleh KPU dinyatakan sebagai sebuah kesalahan pembacaan OCR dan OMR Sirekap dari formulir C hasil. Namun, kata dia, sebagian besar masih meragukan hal tersebut dan menganggap kesalahan data tersebut adalah sesuatu yang disengaja serta algoritmik. 

“Kesalahan data yang ditemukan sampai saat ini adalah tidak sinkronnya antara data yang ditampilkan oleh sirekap dengan formulir C hasil yang didokumentasikan oleh KPPS di level TPS. Hal tersebut bisa saja karena ada kesalahan pembacaan OCR dan OMR atau mungkin juga merupakan sebuah kesalahan yang disengaja untuk keperluan tertentu,” jelas dia.

Kesalahan tersebut, kata Pratama, diperparah lagi dengan tidak adanya fitur edit di Sirekap untuk pemilihan presiden (Pilpres) di level tempat pemungutan suara (TPS). Padahal, kata dia, petugas bisa melakukan edit untuk pemilihan legislatif (Pileg). Perbaikan kesalahan tersebut dia nilai seharusnya bisa langsung direvisi di TPS di depan banyak saksi sehingga tidak menimbulkan kekisruhan lebih lanjut.

“Selain itu sepertinya sistem entry data yang dipergunakan oleh KPU tidak memiliki fitur error checking. Di mana seharusnya hal tersebut mudah saja dimasukkan pada saat melakukan pembuatan sistem, sehingga kesalahan memasukkan data baik disengaja maupun tidak disengaja tidak dapat terjadi,” kata Pratama. 

 Jika dilakukan error checking pada saat entry, kata dia, maka sistem akan menolak apabila jumlah perolehan suara pemilihan presiden diatas jumlah suara yang sah. Kemudian sistem juga akan menolak jika penjumlahan jumlah suara sah ditambah surat suara tidak sah tidak sama dengan baris jumlah seluruh suara sah dan suara tidak sah.

“Salah satunya adalah kritik dari dosen AI Ridho Rahmadi, kesalahan di sistem Sirekap adalah sesuatu yang algoritmik, bukan hanya sekedar kesalahan pembacaan OCR & OMR. Hal tersebut bisa saja benar karena sampai sekarang KPU tidak mengijinkan publik untuk melakukan source code auditing untuk memastikan bahwa kesalahan sirekap tersebut bukanlah sesuatu yang memang disengaja,” terang dia. 

Selain itu, kata Pratama, tidak adanya error checking sehingga jumlah suara dalam satu TPS bisa melebihi jumlah DPT juga harus ikut diperiksa. Termasuk di dalamnya kenapa pada Pilpres di sistem sirekap KPPS tidak dapat melakukan edit data untuk melakukan perbaikan datanya sesuai dengan formulir C hasil, padahal pengubahan data tersebut bisa dilakukan untuk bagian Pileg. 

“Melihat performa KPU sebelum sampai setelah pencoblosan dilakukan dan proses rekapitulasi berjalan sampai saat ini bisa dibilang bahwa manajemen sistem IT KPU sangatlah buruk. Dimulai dengan terjadinya kebocoran data DPT sampai dengan kisruhnya perhitungan menggunakan sistem sirekap yang bahkan menuai banyak kritik baik dari kalangan politisi, akademisi maupun praktisi keamanan siber,” kata dia.

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement