REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai saat ini tidak ada pihak yang secara baik bertanggung jawab atas kekisruhan penerimaan peserta didik baru (PPDB), mulai dari presiden, menteri, hingga pimpinan DPR. Semua pihak tersebut dinilai melakukan cuci tangan dan melempar tanggung jawab atas persoalan tersebut.
“Tidak ada pihak yang secara gentle bertanggung jawab atas kekisruhan ini, lalu menawarkan solusi yang berkeadilan bagaimana supaya tidak terjadi lagi kekisruhan tahunan ini. Semua cuci tangan dan lempar tanggung jawab,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, kepada Republika.co.id, Senin (31/7/2023).
Menurut dia, hal itu juga dilakukan oleh para kepala daerah begitu. Dia mengatakan, para kepala daerah tidak sadar dengan tanggung jawabnya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada seluruh anak secara berkualitas dan berkeadilan. Atas nama penertiban administratif, ada 4.791 anak di Jawa Barat dan 208 anak di Kota Bogor yang namanya dicoret tidak boleh ikut PPDB.
“Bagaimana nasib mereka saat ini? Bagaimana pula nasib mayoritas anak bangsa yang sudah berjibaku daftar PPDB, tapi berujung pada kegagalan? Saya sebut mayoritas, karena sampai hari ini jumlah kursi yang disediakan di sekolah negeri terlalu minim dibanding total kebutuhan,” kata dia.
Atas dasar itu, JPPI mengatakan, PPDB bukanlah masalah teknis di lapangan atau di daerah. Persoalan yang muncul merupakan masalah sistemik yang dipicu oleh peraturan di level pusat, yaitu Permendikbud Nomor 1 tahun 2023 yang masih menggunakan ‘sistem seleksi’ dan pemerintah tidak menyediakan bangku sekolah sejumlah kebutuhan.
“Mau pakai sistem apa pun, tapi daya tampung tak tersedia, kekacauan pasti akan terjadi,” kata Ubaid.
Dia juga menilai, PPDB jangan dilakukan dengan berdasarkan prestasi. Jika hal tersebut dilakukan, maka akan kembali ke pola primitif yang akan mengamputasi hak anak untuk bisa bersekolah. Dia mempertanyakan nasib anak-anak yang tidak berprestasi, yang sejatinya sama-sama anak Indonesia yang punya hak yang sama.
Mendikbudristek, kata Ubaid, harus bertanggung jawab penuh dan merubah sistem PPDB sebagaimana dalam Permendikbud Nomor 1 tahun 2021. Sistem baru nantinya harus mampu menjamin semua anak dapat jatah bangku sekolah dan mewajibkan seluruh pemerintah daerah untuk bekerja sama dengan pihak swasta bila kursi di sekolah negeri tak mampu menampung kebutuhan.
“Sistem zonasi harus diterapkan berdasarkan pemerataan kursi dan mutu sekolah. Sehingga, tidak ada lagi rebutan kursi karena semua kebagian. Begitu pula, tidak ada lagi penumpukan jumlah pendaftar, karena tidak ada mutu yang jomplang alias favoritisme,” ujar dia.
Di samping itu, pendanaan pendidikan adalah tanggung jawab dan kewajiban pemerintah, sebagaimana amanat UUD 1945 di Pasal 31 Ayat 2 dan UU Sisdiknas pada pasal 34 ayat 2. Sekolah bebas biaya itu, kata dia, harus diterapkan di negeri dan swasta, minimal hingga jenjang SMP atau sembilan tahun, dan sampai SMA/SMK bagi daerah-daerah yang menerapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun.
Setelah lama diam, akhirnya Mendikbudristek, Nadiem Makarim, buka suara soal kisruh zonasi pada PPDB. Namun, kata Ubaid, bukan jalan keluar atau solusi atas permasalahan yang terjadi, tapi curhat soal kena getah tahunan akibat kebijakan yang katanya bukan dia ciptakan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga berkomentar soal gaduh PPDB. Katanya, PPDB adalah masalah teknis di lapangan. Bahkan, lebih aneh lagi, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf punya ide supaya sistem PPDB balik seperti dulu lagi, yaitu seleksi berdasarkan prestasi alias nilai hasil ujian akhir sekolah. Semua pernyataan itu sangat Ubaid sayangkan keluar dari para pimpinan bangsa.