Jumat 14 Jul 2023 10:03 WIB

JPPI Ungkap Aturan Pusat yang Jadi Sumber Kekisruhan PPDB

Aturan PPDB dari pusat dijadikan acuan dan ditafsirkan secara beragam oleh pemda.

Rep: Ronggo Astungkoro, Dessy Suciati Saputri/ Red: Andri Saubani
Sejumlah orang tua/wali murid melaksanakan aksi simbolik di depan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Malang, Jumat (23/6/2023). Kegiatan ini ditunjukkan untuk menyampaikan keluhan atas hasil PPDB tingkat SMP. 
Foto: Republika/Wilda Fizriyani 
Sejumlah orang tua/wali murid melaksanakan aksi simbolik di depan Kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Malang, Jumat (23/6/2023). Kegiatan ini ditunjukkan untuk menyampaikan keluhan atas hasil PPDB tingkat SMP. 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengatakan, ada sejumlah titik kesalahan sistemik yang menyebabkan ricuh Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di berbagai daerah, yang secara jelas dipicu oleh kebijakan di level pusat. Salah satu sumber kegaduhan PPDB adalah Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 yang dijadikan acuan daerah dan ditafsirkan secara beragam oleh pemda-pemda.

“Dampaknya, sistem PPDB menuai protes di berbagai tempat dengan ragam kegaduhan yang berbeda-beda. Misalnya, protes karena seleksi berdasarkan usia, ketidakjelasan parameter jalur prestasi, dan juga banyak ditemukan manipulasi di jalur zonasi dan afirmasi,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, kepada Republika, Jumat (14/7/2023).

Baca Juga

Jadi, jelas Ubaid, regulasi itu melahirkan peraturan turunan di daerah-daerah, yang satu sama lain saling bertabrakan. Itu membuat masyarakat menjadi bingung, lalu terjadilah gaduh.

Jika hanya ada satu atau dua daerah yang gaduh, maka bisa jadi daerah tersebut yang salah tafsir. Tetapi, ketika ricuh itu terjadi di banyak daerah, berarti acuan Permendikbud-nya yang bermasalah. 

Kemudian, kesalahan sistemik kedua adalah pelaksanaan PPDB tidak pernah diaudit, terlebih untuk melihat sudah atau belumnya kebijakan itu memenuhi nilai berkeadilan. Dia menjelaskan, Permendikbud tentang PPDB terakhir diterbitkan tahun 2021. Tapi, hingga kini belum juga direvisi. Padahal kebijakan itu dia sebut jelas memakan banyak korban karena ketidakadilan yang sistemik.

“Kemendikbudristek malah mengklaim secara sepihak, bahwa sistem ini adalah sistem terbaik dan untuk pemerataan akses dan mutu. Tapi apa yang terjadi? Sejak diberlakukan tahun 2017 hingga kini 2023, pemerataan akses dan mutu itu masih jadi mimpi bersama, belum nyata adanya,” kata Ubaid.

Menurut dia, dari sisi akses, mayoritas anak tak dapat jatah bangku di sekolah negeri. Soal mutu, juga masih terjadi kesenjangan. Tahun ini, pendaftar PPDB masih saja numpuk di sekolah-sekolah unggulan dan favorit. Bahkan, kini pemerataan kualitas pendidikan kian rancu dengan adanya label sekolah penggerak. Kehadiran sekolah dengan label ‘sekolah penggerak’ itu menjadi favoritisme atau stigma unggulan baru.  

Kesalahan sistemik berikutnya yang JPPI lihat adalah kesesatan paradigma dalam sistem PPDB. Ubaid menerangkan, sistem PPDB yang dicetuskan Kemendikbudristek belum mampu menjamin semua anak dapat mendapatkan haknya untuk bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas. Padahal itu adalah amanah konsitusi, yakni UUD 1945 pasal 31 dan UU Sisdiknas pasal 34.

“Jadi, perspektif yang benar adalah, sistem PPDB harus mampu memberikan kepastian dan jaminan layanan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, tanpa diskriminatif. ‘Sistem seleksi’ dalam Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 dengan sendirinya akan menganulir dan mendiskriminasi mayoritas anak Indonesia untuk mendapat layanan pendidikan yang berkeadilan. Jadi, selama ‘sistem seleksi’ ini diberlakukan, tentu praktik diskriminatif ini kian subur,” jelas dia.

Untuk perbaikan ke depan, JPPI memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 harus direvisi dan diganti dengan aturan baru yang jelas dan berkeadilan. Aturan itu harus bisa langsung diterapkan tanpa harus menunggu pemerintah daerah membuat aturan turunan yang malah membingungkan dan menimbulkan diskriminasi di daerah-daerah.

Kedua, untuk memastikan semua anak kebagian jatah kursi di sekolah, Permendikbud tentang PPDB yang baru nantinya sebagai acuan utama harus mewajibakan semua pemda untuk melibatkan sekolah swasta saat PPDB, di tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA. Hal itu dia sebut penting karena kuota kursi di negeri sangat minim. Kuota kursi yang disediakan pemerintah saat PPDB, harus sebanding dengan jumlah kebutuhan. 

“Lalu, jangan lagi menggunakan ‘sistem seleksi’ dalam aturan PPDB yang baru. Gunakan sistem yang berkeadilan yang memastikan ‘no one left behind’ dalam pemenuhan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas,” terang Ubaid.

Baca juga : DPRD Kota Bogor Telusuri Adminduk Terkait PPDB, Ini Temuannya

Berikutnya, pemerintah pusat dan daerah harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan layanan pendidikan yang berkualitas, termasuk di dalamnya adalah skema penuh, bukan subsidi, pembiayaan pendidikan, baik bagi anak-anak yang sekolah di negeri maupun di swasta. Jadi, semua bisa sekolah dengan bebas biaya, baik di negeri maupun di swasta. 

“Sistem zonasi bisa terus diterapkan, tapi harus dibarengi dengan pemerataan kualitas sekolah, baik di swasta dan negeri, tanpa harus melalui sistem seleksi. Jadi, semua anak akan dapat jatah sekolah yang berkualitas dan bebas biaya di dekat rumah,” kata Ubaid.

 

 

In Picture: Terdampak Zonasi, Sekolah Ini Hanya Terima Dua Murid Baru

 

photo
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement