Kamis 06 Apr 2023 17:38 WIB

Di Sidang, Eks Menkominfo Akui Berikan Slot Satelit ke Kemenhan Atas Dasar 'Kepercayaan'

Rudiantara pesimis kalau slot itu ditempati oleh perusahaan swasta.

Rep:  Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Eks Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara usai memberi kesaksian dalam kasus satelit di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (6/4/2023).
Foto: Republika/Rizky Surya
Eks Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara usai memberi kesaksian dalam kasus satelit di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat pada Kamis (6/4/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Eks Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengungkapkan dirinya mempercayakan slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) untuk ditempati satelit dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Rudiantara pesimis kalau slot itu ditempati oleh perusahaan swasta karena tidak ada yang kompeten. 

Hal tersebut dikatakan Rudiantara sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat BT di lingkungan Kemenhan pada Kamis (6/4/2023) di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat. 

Baca Juga

Rudiantara hadir sebagai saksi untuk terdakwa mantan Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemenhan Laksamanan Muda (Purn) Agus Purwoto; Komisaris Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK), Arifin Wiguna; Direktur Utama PT DKN, Surya Cipta Witoelar; dan Senior Advisor PT DNK, Thomas Anthony Van Der Heyden.

"Kalau begitu Kemenhan saja yang jadi operator. Soalnya saya lebih percaya dengan pemerintah," kata Rudiantara dalam persidangan itu. 

Keyakinan Rudiantara terhadap Kemenhan didasari tak kompetennya pihak swasta yang mendaftar pengisian slot satelit itu. Ini diawali Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemenkominfo sempat mengundang calon operator yang bersedia adalah Pasifik Satelit Nusantara (PSN), PT DNK, dan PT Sarana Mukti Adijaya (PT SMA). Rudiantara menyimpulkan PT DNK dan PT SMA tidak berpengalaman. Adapun PT PSN mau melakukannya dengan syarat diberi subsidi yang membebani pemerintah. 

"Kami dapat info sebetulnya pemerintah Indonesia dari 2013 sudah bicarakan slot 123 ditujukan surat Menkopolhukam ke Presiden ditembuskan ke Menkominfo. Saat itu ada keinginan di slot 123 derajat oleh Kemenhan. 2014 Menhan kirim surat ke Presiden tembuskan ke Menkominfo spesifik harapkan bisa peroleh hak pengelolaan di 123 untuk sistem pertahanan. Saat itu Menhannya Purnomo Yusgiantoro," ujar Rudiantara. 

Pada Juni 2015, Kemenkominfo melakukan presentasi di Kemenhan yang dihadiri lembaga lain seperti Bakamla, Basarnas, Kementerian Kelautan dan Perikanan yang punya kebutuhan menggunakan satelit komunikasi. 

"Isi presentasi sampaikan yang terjadi dengan slot 123, dan kalau mau (diambil) apa yang harus diperhatikan," ucap Rudiantara. 

Kemenhan pun menyatakan minat resminya pada tahun yang sama usai paparan presentasi itu. Minat itu berbalas persetujuan dari Kemenkominfo. 

"Keputusan Menkominfo di Mei 2016 tentang hak pengelolaan diberikan ke Kemenhan setelah November 2015 Kemenhan ajukan surat meminta dia sebagai operator di 123," ujar Rudiantara. 

Sementara itu, keputusan Rudiantara mempercayakan slot satelit kepada Kemenhan menuai pertanyaaan tim kuasa hukum terdakwa. Keputusan tersebut dituding diambil tanpa pertimbangan dan data memadai. 

"Itu namanya angan-angan, berandai-andai keputusannya karena tidak ada datanya," tuding kuasa hukum terdakwa. 

Adapun, Rudiantara tetap bersikukuh dengan keputusannya tersebut. Ia menilai, kesiapan Kemenhan pasti didasari kemampuan untuk mengambil slot satelit. 

Diketahui, kasus ini menjerat mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto, eks Komisaris Utama PT DNK, Arifin Wiguna; Direktur Utama PT DNK, Surya Cipta Witoelar; dan terdakwa berkewarganegaraan Amerika Serikat (AS) yang merupakan tenaga ahli PT DNK Thomas Anthony Van Der Heyden. Perkara ini didakwa kerugian keuangan negara sebesar Rp453 miliar. 

Agus Purwoto disebut jaksa penuntut umum (JPU) diminta oleh Thomas Anthony, Arifin Wiguna dan Surya Cipta Witoelar supaya menandatangani kontrak sewa satelit Floater yaitu Satelit Artemis antara Kemenhan dengan Avanti Communication Limited walau sewa satelit Artemis tidak dibutuhkan.

Dalam perkara ini, Agus, Arifin, Surya, dan Anthony didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. 

 

photo
Kasus Korupsi Pengadaan Heli AW-101 - (infografis republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement