Jumat 21 Oct 2022 17:13 WIB

Sidang Ungkap Penetapan HET Diduga Sebabkan Kelangkaan Minyak Goreng

Sidang dugaan korupsi pemberian izin ekspor CPO menghadirkan pegawai BPS.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Agus raharjo
Komisaris PT. Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor (kiri) mengikuti sidang pemeriksaan saksi kasus suap minyak goreng di pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Majelis Hakim menghadirkan tiga saksi salah satunya Pensiunan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan untuk memberikan kesaksian atas kasus suap korupsi minyak goreng.
Foto: ANTARA/Henry Purba
Komisaris PT. Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor (kiri) mengikuti sidang pemeriksaan saksi kasus suap minyak goreng di pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Majelis Hakim menghadirkan tiga saksi salah satunya Pensiunan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan untuk memberikan kesaksian atas kasus suap korupsi minyak goreng.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang kasus dugaan korupsi pemberian izin ekspor crude palm oil (CPO) digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (20/10). Sidang kali ini mengagendakan pemeriksaan saksi-saksi.

Salah satu saksi yang dihadirkan yakni, pegawai di Direktorat Statistik Harga BPS, Wiji Tri Wilujeng. Dalam kesaksiannya, Wiji menyebut harga minyak CPO internasional bisa diakses di world bank tapi BPS tidak mengukur harga CPO. Wiji menyebut, harga minyak goreng pada Januari dan Februari itu malah mengalami deflasi atau penurunan harga sebesar 9,17 persen.

Baca Juga

“Februari iya (deflasi), Maret April inflasi, dan Januari inflasi, pada Januari inflasi 0,84 persen,” kata Wiji di persidangan, Jumat (21/10/2022).

Wiji mengatakan tidak ada standar untuk mengkategorikan inflasi 0,8 persen itu termasuk tinggi atau rendah. “Tapi itu kalau dari sisi pengambilan kebijakan itu biasanya pemerintah menetapkan asumsi inflasi tinggi rendah itu sekitar 3 persen pemerintah secara umum tapi ya, yoy (year on year) alias inflasi tahunan, kalau yang saya sampaikan barusan adalah inflasi bulanan,” ujar Wiji.

Wiji menyebut pemerintah tidak pernah memberikan asumsi inflasi month to month tapi year on year. “Dapat saya sampaikan yoy-nya untuk yoy nasional Januari di 33,78 persen, Februari 21,62 persen, Maret 25,83 persen, itu jika dibandingkan 2022 terhadap 2021,” kata Wiji.

Wiji juga mengungkapkan, BPS tidak pernah menetapkan inflasi bulan ini kecil dan tidak pernah mengasumsikan kecil atau besar. “Tapi ini segini bulan Januari sekian misalnya 0,56 berarti kontribusi migor 0,01 berarti 0,55 dari komoditas lain seperti itu kami tidak pernah judge inflasi kita kecil atau rendah. Kalau ada yang bilang inflasi kecil itu bukan dari kami,” ucap Wiji.

Sementara itu, seusai persidangan, Penasehat Hukum Master Parulian Tumanggor, Komisaris Wilmar Nabati, Juniver Girsang mengatakan kesaksian pertama dari pasar, menyebutkan bahwa mulai November betul harga minyak goreng sudah mencapai Rp 17.600 dan BPS juga membenarkan.

“Kenyataannya saat itu tidak langka, namun begitu ditetapkan pemerintah dengan Permendag 6/2022 HET (harga eceran tertinggi), langsung minyak goreng langka. Karena apa? di masyarakat mulai terjadi penimbunan untuk mencari keuntungan, dan spekulan-spekulan. Kemudian pada Maret, HET dicabut, Permendag nomor 6 dicabut, langsung membanjiri pasar,” ujar Juniver.

Menurut Juniver, dapat disimpulkan kelangkaan itu adalah karena pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi. “Jadi karena kebijakan, bukan karena produsen yang melakukan ekspor berlebihan. Saksi dari PT POS juga tidak menyebut ada kerugian negara, saksi itu bilang BLT itu program pemerintah untuk sembako, termasuk salah satunya migor. Program itu ditetapkan Mensos dalam DIPA sejak 2021,” kata Juniver.

Juniver menyebut tidak ada kerugian negara yang terjadi, karena kebijakan itu adalah kewajiban pemerintah untuk menanggulangi permasalahan di masyarakat. Juniver juga menanggapi kesaksian BPS, bahwa ketika Jaksa menyebut minyak goreng menyebabkan inflasi.

“Padahal mulai bulan Januari sampai Maret, inflasi itu malah signifikan dan tidak mengganggu perekonomian dan sehat. Jaksa bilang terganggu, ternyata data BPS hanya 0,19 persen, seharusnya 1,29 berarti kan digitnya dibawah. Malah harga komoditas lain yang membuat situasi tidak normal,” kata Juniver.

Juniver menyebut devisa dari ekspor minyak goreng itu tinggi, karena di luar negeri harga minyak goreng tinggi. “Jadi walau jumlahnya sedikit yang diekspor, tapi lebih tinggi nominalnya dari sebelumnya. Kalau data BPS, tidak monoton (inflasi) diambil dari minyak goreng, ada komoditas lain, ada beras, ada ayam, disebut sembako ada sembilan bahan pokok, garam, terigu, kebutuhan lain, sayang saja saya tidak lemparin (datanya). Bukan kewenangan saya, BPS yang paparin datanya, diagramnya,” ucap Juniver.

Diketahui, dalam kasus ini JPU menjerat mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indra Sari Wisnu Wardhana, mantan tim asistensi Menko Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei, Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley Ma; dan General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang. Mereka diduga memperkaya beberapa perusahaan hingga merugikan negara Rp 18,3 triliun.

JPU mendakwa Indra, Lin Che Wei, Master, Stanley, dan Pierre melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement