REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan, pihaknya sudah menemukan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang dari data aliran uang lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT). Termasuk adanya indikasi pendanaan terorisme dari tindak pidana tersebut.
"Sejak 2014 ini ada indikasi sudah kita temukan, kemudian kita koordinasi kepada penyidik, penegak hukum. Selama ini kita bekerja karena memang PPATK itu kan intelligence financial unit, intelijen di bidang keuangan.," ujar Kepala Biro Humas PPATK Muhammad Natsir Kongah dalam sebuah diskusi daring, Ahad (10/7/2022).
Ia menjelaskan, PPATK dapat melakukan penelusuran dari indikasi tersebut jika adanya laporang keuangan yang mencurigakan. Hal tersebut biasanya terendus dari transaksi bank yang berada di luar profil nasabah.
"Atau kalau untuk terorisme, walaupun itu angkanya kecil kalau digunakan untuk kegiatan kejahatan itu termasuk tindak pidana asal dari pencucian uang dan pencucian uang itu sendiri," ujar Natsir.
Kendati sudah menemukan indikasi tindak pidana pencucian uang oleh pengurus ACT sejak 2014, PPATK hanya bisa menyerahkan temuan tersebut kepada penegak hukum. Pasalnya, lembaganya tak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan.
"Makanya hasil analisis, hasil pemeriksaan PPATK disampaikan kepada penegak hukum, penyidik dalam hal ini," ujar Natsir.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) membenarkan telah menerima laporan dari PPATK mengenai informasi transaksi mencurigakan lembaga filantropi ACT terkait dengan kegiatan jaringan terorisme. Sesuai dengan tugas dan fungsinya, BNPT telah menindaklanjuti data tersebut.
Direktur Pencegahan BNPT Ahmad Nurwakhid dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (8/7/2022), mengatakan, penindaklanjutan laporan itu dengan mendalami, mengoordinasikan, dan memfasilitasi aparat penegak hukum dari hasil analisis transaksi keuangan ACT, baik individu maupun organisasi, yang terlibat dalam jaringan terorisme di dalam ataupun di luar negeri. Untuk pendalaman kajian lebih lanjut, Nurwakhid menyampaikan, BNPT akan menjalin kerja sama dengan rekanan guna menelusuri dugaan transaksi untuk individu maupun organisasi yang terlibat terorisme.
"Makin maraknya kelompok radikal atau teroris di Indonesia memanfaatkan lembaga amal dan filantropi untuk penggalangan dana ini juga terkait dengan konteks masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kedermawanan sosial yang cukup tinggi," ujar Nurwakhid.