Selasa 24 May 2022 15:33 WIB

Wamenkumham: Pidana Mati tak Hanya Menyangkut Persoalan Hukum

Pidana mati di Indonesia juga terkait religi, politik dan sosial kemasyarakatan.

Ilustrasi. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wemenkumham) RI Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pidana mati bukan hanya menyangkut persoalan hukum, tetapi juga terkait aspek religi, politik dan sosial kemasyarakatan.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Ilustrasi. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wemenkumham) RI Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pidana mati bukan hanya menyangkut persoalan hukum, tetapi juga terkait aspek religi, politik dan sosial kemasyarakatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wemenkumham) RI Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, pidana mati bukan hanya menyangkut persoalan hukum. Namun, pidana mati juga terkait aspek religi, politik dan sosial kemasyarakatan.

"Persoalan pidana mati bukan persoalan hukum tapi ada persoalan religi, sosial dan politik," kata wamenkuham dia pada diskusi "Indonesian Way" pembaruan politik hukuman mati melalui RKUHP di Jakarta, Selasa (24/5/2022).

Baca Juga

Mengenai pidana mati, ia mengaku beberapa kali didatangi oleh Duta Besar Belanda, Amerika Serikat, dan Australia. Pada pertemuan tersebut, wamenkumham menyampaikan tentang survei hukuman mati yang dilakukan antara 2015 hingga 2016.

Dari 100 responden survei tersebut 80 persen di antaranya setuju dengan penerapan pidana mati. Namun, ketika ditanya apakah setuju teroris dihukum mati, 80 responden yang awalnya setuju, pada umumnya menolak pidana mati.

"Dari 80 persen yang awalnya setuju dengan pidana mati, berubah menjadi 20 persen setuju pidana mati diterapkan," kata dia.

Artinya, pidana mati tidak hanya menyangkut masalah hukum tetapi juga menyangkut persoalan politik, agama atau religi, dan sosial kemasyarakatan. Karena itu, sambung dia, pemerintah mencoba mengambil jalan tengah, yakni hukuman mati adalah pidana khusus bukan lagi pidana pokok atau pidana tambahan. Alasan digunakan atau ditetapkannya pidana khusus karena penjatuhan pidana mati harus betul-betul selektif. 

Kedua, ada masa percobaan bagi terpidana. Khusus alasan kedua, jelas dia, merujuk kepada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2008 yang diajukan oleh dua orang terpidana mati kasus narkotika.

"Menurut saya secara pribadi dan bukan sebagai Wakil Menteri, itu adalah putusan paling bagus," ujarnya.

Dalam paparannya, ia juga menyinggung soal aktivis hak asasi manusia yang tidak satu suara dengan aktivis antikorupsi soal penerapan pidana mati. Para aktivis HAM secara jelas akan menolak pidana atau hukuman mati, sedangkan aktivis antikorupsi akan setuju penerapan hukuman tersebut pada koruptor, kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement