Rabu 13 Apr 2022 12:31 WIB

RUU Daerah Otonomi Baru Papua, Menyejahterakan atau Menambah Kasus Pelanggaran HAM?

Pemerintah diharap tidak mengutamakan kehendaknya sendiri dalam memekarkan Papua.

Sidang Paripurna ke-19 pada masa persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4/2022), DPR menyetujui tiga RUU DOB di Papua menjadi usul inisiatif DPR. Ketiga usulan itu ialah RUU tentang Papua Selatan, RUU tentang Papua Tengah, dan RUU tentang Papua Pegunungan Tengah.
Sidang Paripurna ke-19 pada masa persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (12/4/2022), DPR menyetujui tiga RUU DOB di Papua menjadi usul inisiatif DPR. Ketiga usulan itu ialah RUU tentang Papua Selatan, RUU tentang Papua Tengah, dan RUU tentang Papua Pegunungan Tengah.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Nawir Arsyad Akbar, Antara

Tiga rancangan undang-undang daerah otonomi baru (DOB) di Papua, yakni RUU tentang Provinsi Papua Selatan, RUU tentang Provinsi Papua Tengah, dan RUU tentang Provinsi Pegunungan Tengah telah ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR. Hal tersebut disepakati dalam rapat paripurna ke-19 Masa Sidang IV Tahun Sidang 2021-2022.

Baca Juga

Aktivis pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Theo Hesegem, menilai pemekaran provinsi Papua sangat berpotensi menambah daftar panjang kasus pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih. Sejumlah pelanggaran HAM di Papua sebelumnya pun belum diusut tuntas.

"Kalau terjadi pemekaran provinsi di Papua akan menjadi lahan konflik besar dan saya berpikir nanti pelanggaran HAM akan bertambah, akan berkonflik, dan itu ruang yang dibuka oleh pemerintah pusat," ujar Theo saat dihubungi Republika, Rabu (13/4/2022).

Menurut dia, pemerintah pusat berkewajiban menjaga situasi di Papua aman dan kondusif. Sementara, kata dia, Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) masih bergerak aktif.

Dia mengatakan, mereka bisa saja mencuri senjata milik TNI/Polri. Pasalnya, ketika dibuka daerah otonomi baru, maka akan bertambah pula kantor komando militer dan polisi di daerah.

Dia menyebutkan, sampai saat ini saja OPM telah memiliki senjata canggih. Karena itu, meskipun pasukan TNI/Polri telah dikerahkan ke Papua, keamanan belum tentu terjamin.

Bahkan masyarakat sipil yang menjadi korban, baik masyarakat asli Papua maupun non-Papua. Anggota TNI pun gugur dalam gencatan sejata itu.

"OPM masih bergerak leluasa, mereka akan mencuri senjata di mana-mana. Dan kemudian korban TNI akan bertambah," kata Theo.

Dia mendorong pemerintah mengajak mereka duduk bersama dan melakukan kesepakatan. Jika kesepakatan belum dicapai, maka sulit menjalankan roda pemerintahan, baik di daerah eksis, maupun daerah otonomi baru di Papua.

"Saya punya foto beberapa, ada salah satu di kabupaten itu kantornya rumput tinggi, ASN tidak kerja, kantor kabupaten saja sudah rumput tinggi, saya tidak tahu orang-orang pemerintahan ini kerja di mana," kata dia.

Apabila demikian, Theo melanjutkan, tentu rakyat yang akan rugi karena tidak mendapatkan pelayanan publik. Di samping itu, negara pun ikut rugi.

Dia mendesak pemerintah untuk tidak mengutamakan kehendaknya sendiri dalam memekarkan wilayah Papua. Pembentukan daerah otonom baru tidak lantas membuat warga Papua sejahtera.

"Pemerintah pusat tidak bisa mendengar dan menerima aspirasi masyarakat Papua. Ini di Papua penolakan pemekaran provinsi sudah di beberapa kabupaten dengan ribuan massa turun," ucap dia.

Sementara itu tokoh senior Papua Michael Manufandu mengatakan tiga RUU DOB bertujuan baik. Yaitu untuk mewujudkan percepatan kesejahteraan rakyat Papua.

"Pemerintah ingin rakyat Papua sejahtera, karena selama 60 tahun ini seperti tidak ada kemajuan berarti di Papua, padahal sudah banyak hal yang dibuat oleh Pemerintah," kata Manufandu, ketika dihubungi.

Dia mengatakan tugas pokok Pemerintah ialah memberikan pelayanan terbaik, cepat, dan tepat kepada rakyat. Pemerintah juga akan berjuang untuk memampukan rakyat agar cepat berkembang menyesuaikan perkembangan zaman serta menyediakan berbagai sarana dan prasarana, termasuk infrastruktur, untuk menunjang percepatan kesejahteraan rakyat, katanya.

"Jadi, dari sudut pelayanan Pemerintah, maka pemekaran Provinsi Papua ini penting supaya kontrolnya jauh lebih mudah. Lalu, jangkauan Pemerintah untuk mengurus daerahnya, mengurus rakyatnya, menjadi lebih mudah. Tidak sama seperti sekarang dimana 29 kabupaten dan kota yang begitu luas diurus oleh satu gubernur yang ada di Jayapura," jelas mantan Duta Besar RI untuk Kolombia itu.

Dia mencontohkan Pulau Jawa, yang luasnya hanya sepertiga dari luas Pulau Papua, justru memiliki enam provinsi, meskipun dari sisi kepadatan penduduk jauh lebih tinggi. Sementara terkait banyaknya kritik bahwa pemekaran Papua hanya untuk kepentingan imigran dari luar Papua, dia tidak sependapat dengan tudingan itu.

"Soal orang luar datang, yang penting ada interaksi sosial yang bagus. Pemimpin pemerintahan itu membangun interaksi sosial antara orang yang punya wilayah dengan mereka yang datang, sehingga saling mengisi, saling melengkapi, saling menolong, saling membantu, supaya bisa cepat berkembang," katanya.

Sehubungan dengan itu, katanya, dibutuhkan para pemimpin pemerintahan yang baik, kuat, pandai, sehingga bisa mengatur rakyat dari berbagai latar belakang suku, agama, dan golongan bisa berkembang bersama-sama. Dia mengingatkan hingga kini Papua merupakan bagian integraldari wilayah NKRI, sehingga siapa pun WNI boleh datang ke Papua dan orang Papua juga boleh ke mana-mana, baik ke Jawa, Sumatra, maupun berbagai tempat di wilayah Indonesia.

Pandangan yang mendikotomi antara orang asli Papua dengan warga pendatang dari luar Papua, katanya, justru tidak mendorong terjadinya kemajuan dan tidak terjadi interaksi positif antarwarga. Ia berharap Pemerintah pusat terus mendorong agar para pemimpin pemerintahan yang nantinya memimpin di Papua sungguh-sungguh memiliki wawasan yang luas, memiliki latar belakang pendidikan baik, dan memiliki dukungan politik luas, sehingga bekerja baik dalam menghadapi berbagai macam tantangan.

"Saya juga berharap Pemerintah juga mendidik orang untuk tidak terlalu berpikir sukuisme dan adatisme. Dua hal itu yang membuat Papua selalu terbelakang dalam segala hal. Ada persoalan sedikit, selalu diselesaikan secara adat yang justru menghukum orang dalam kebodohan dan keterbelakangan. Itu yang kurang bagus," tuturnya.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, yang merupakan hasil revisi UU Nomor 21 Tahun 2001, mengamanatkan pembentukan Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BP3-OKP). Badan tersebut dipimpin langsung oleh Wakil Presiden dengan anggota Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, ditambah dua tokoh orang asli Papua (OAP).

Tugas utama badan tersebut ialah melakukan sinkronisasi, harmonisasi, mengawasi, dan mengkoordinasikan semua hal di Tanah Papua agar semua bisa berjalan tertib dan teratur. "Kami berharap dengan adanya badan ini bisa mengendalikan semua hal, sehingga tidak ada provinsi dan kabupaten yang tertinggal atau terbelakang, lalu dibiarkan begitu saja. Badan ini juga akan mengharmonisasi semua sehingga ada keadilan dan pemerataan untuk semua di Tanah Papua," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement