REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Persetujuan diambil dalam Rapat Paripurna Masa Sidang IV tahun sidang 2020-2021 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10) sore.
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin yang memimpin rapat menanyakan persetujuan para anggota yang hadir dalam forum tersebut. "Perlu kami sampaikan, berdasarkan yang telah kita simak bersama. Sekali lagi saya memohon persetujuan di forum rapat paripurna ini, bisa disepakati?" tanya Azis, Senin (5/10).
"Setuju," dijawab serentak oleh anggota DPR yang hadir, diikuti ketukan palu oleh Azis tanda regulasi sapu jagat itu telah disahkan menjadi undang-undang.
Sebelumnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) sekaligus panitia kerja (Panja) RUU Cipta Kerja Supratman Andi Agtas menyampaikan laporan hasil rapat Baleg DPR bersama pemerintah. Hasilnya, tujuh fraksi setuju RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang. Sementara, Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan menolak RUU Cipta Kerja disahkan.
"Seluruh fraksi, sembilan fraksi menaruh sungguh-sungguh perhatian kepastian akan hak-hak bekerja. Selalu menjadi hal yang perlu diperjuangkan dalam tingkat panja," ujar Supratman.
Ada sejumlah poin yang telah disetujui selama pembahasan RUU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya terkait pesangon, upah minimum, dan jaminan kehilangan pekerjaan.
Terkait Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), pemerintah dan DPR juga sepakat untuk tetap dijalankan dengan syarat atau kriteria tertentu. UMK juga tetap ada menyesuaikan inflasi dan tidak dikelompokan secara sektoral.
Poin lain yang juga disetujui adalah soal Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kecelakaan Kerja. Semua jaminan kehilangan pekerjaan ini, pada intinya disetujui untuk tetap disubsidi melalui upah dengan menggunakan data BPJS Ketenagakerjaan.
Ia juga menegaskan, RUU Cipta Kerja tidak akan menghilangkan hak cuti haid dan hamil. Selain itu, persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK) tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Sebelum mengakhiri laporan ini, izinkan kami menyampaikan terima kasih kepada semua anggota Badan Legislasi yang telah bekerja keras untuk menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini," ujar Supratman.
In Picture: Aksi Unjuk Rasa Tolak RUU Omnibus Law
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR Marwan Cik Asan menegaskan bahwa fraksinya menolak RUU Cipta Kerja disetujui menjadi undang-undang. ada lima catatan penting F-Demokrat terkait RUU tersebut, pertama, sejak awal fraksi menilai tidak ada urgensi RUU Ciptaker di tengah krisis pandemi Covid-19. Menurut dia, seharusnya prioritas negara saat ini adalah mengatasi pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
"Kedua, RUU ini berdampak luas atau omnibus law sehingga perlu dibahas secara hati-hati dan mendalam termasuk hal fundamental," ujar Marwan.
Ketiga menurut dia, RUU Ciptaker diharapkan bisa mendorong investasi dan menggerakkan ekonomi nasional namun justru hak pekerja terpinggirkan. Dia menjelaskan, poin keempat, RUU tersebut mencerminkan bergesernya semangat Pancasila khususnya sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang bergeser ke arah ekonomi kapitalistik dan neoliberalistik.
"Kelima, kami menilai ada cacat prosedur dalam pembahasan RUU Ciptaker karena pembahasan pada poin-poin krusial tidak transparan dan tidak melibatkan pekerja dan masyarakat sipil," ujar Marwan.
Rapat Paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja juga diwarnai langkah walk out (WO) dari Fraksi Partai Demokrat. Alasannya, fraksi partai berlogo bintang mercy itu tak diizinkan untuk menyampaikan penolakan terhadap RUU tersebut.
Kejadian ini bermula ketika anggota Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman yang ingin menginterupsi Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, perihal pengambilan keputusan tingkat II RUU Cipta Kerja. Namun, Azis tak mengizinkannya dan meminta agar hal tersebut dilakukan setelah pandangan dari pemerintah.
"Interupsi akan kita terima setelah pandangan dari pemerintah," tegas Azis di Ruang Rapat Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10).
Benny kemudian meminta waktu satu menit untuk menyampaikan pandangannya. Namun, Azis meminta agar pemerintah yang diwakili Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto untuk terlebih dahulu menyampaikan pandangannya.
"Kalau demikian kami Fraksi Demokrat menyatakan walk out dan tidak bertanggung jawab," ujar Benny yang kemudian meninggalkan ruang rapat, diikuti oleh anggota Fraksi Demokrat lainnya.